Ulama Selebriti :
Persentuhan Agama dan Budaya Pop
Oleh : Suasana
Nikmat Ginting
BAB I
PENDAHULUAN
Kata ulama berasal dari bahasa arabالعلماء jamak
daru mufrad (kata tunggal) عالِم ʿĀlim orang yang berarti
orang yang berilmu atau orang yang berpengetahuan.[1]
Sayyid Qutub berpendapat ulama adalah orang- orang yang memikirkan dan memahami
al Quran.[2]
Di Indonesia kata ulama
yang semula dimaksudkan dalam bentuk
jamak, berubah menjadi bentuk tunggal. Dalam pengertiannya ulama menjadi lebih sempit,
karena diartikan sebagai seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan agama saja.[3]
Sedangkan Sufyan al Tsauri
berpendapat bahwa ulama itu ada tiga macam yaitu: orang yang tau kepada Allah
dan urusannya, orang yang tahu kepada Allah
tetapi tidak mengetahui urusannya, dan orang yang tau kepada Allah tapi
tidak tau urusannya.[4]
Banyak lagi pengertian dan pendapat para pakar dan tokoh tentang ulama. Namun
pemakalah memaparkan sekedarnya tentang pengertian ulama dan yang paling
penting pengertian Ulama juga bisa
dilihat di dalam Al Quran Surat
Al Fathir ayat 28:
Artinya: Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang
melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.[5]
[1258] Yang dimaksud dengan ulama dalam ayat ini ialah orang-orang
yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.
Menurut M. Quraish
Shihab bahwa yang dinamakan ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan
tentang agama, fenomena alam dan sosial, asalkan pengetahuan tersebut
menghasilkan khasyah. Khasyah menurut pakar bahasa al-Quran, ar-Raghib
a-Ashfani, adalah rasa takut yang disertai penghormatan yang lahir akibat
pengetahuan tentang objek. Penyataan di dalam al-Qur‟ăn bahwa yang memiliki
sifat tersebut hanya ulama mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya
bukanlah ulama.[6]
Sedangkan pegertian Selebritis adalah orang yang
terkenal atau masyhur (biasanya tentang artis)[7].
Jadi Ulama Selebritis itu bisa kita simpulkan orang yang mengetahui dan taat
kepada Allah serta menyampaikan ajaran Agama serta sosoknya yang dikenal oleh
publik di media massa.
Di sini penulis akan mencoba menjelaskan, bagaimana sesungguhnya ulama konvensional dengan
ulama selebritis saat ini. Apakah ulama dahulu dan sekarang tetap konsisten
secara prinsipnya menjalankan fungsi dan peran ulama sebagai pewaris para nabi.Dan
mengapa terjadi pergeseran pola dakwah sehingga masyarakat lebih menggandrungi
ulama selebritis dalam berdakwah.
Serta apakah ulama
terdahulu dan ulama selebritis saat ini dapat terlihat sama dalam berbagai karya-
karyanya dalam bentuk buku atau tulisan terkait dengan persoalan agama saat
ini.
Penulis menyadari tulisan ini penuh
dengan kekurangan dan memerlukan masukan kontribusi yang konstruktif sehingga
menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat luas.
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Latar
Belakang Sosio- Religius Fenomena Ulama Selebriti
Pada kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, model dakwah yang
disampaikan para mubaligh atau para da’i telah mengalami banyak perubahan.
Model ceramah agama yang dulunya lebih bersifat konvensional, setidaknya telah
mulai ditinggalkan oleh sejumlah da’i. Lalu mulai bergeser pada dakwah
berorientasi intertain. Yakni model berceramah agama yang tidak sekadar
mendengarkanm ceramah sang da’i, tetapi sekaligus menjadi ajang ‘hiburan’. Para
jamah pun bisa dibuat ger-geran oleh sang da’i. Tentunya, mereka para da’i
berdakwah dengan memanfaatkan perkembangan kemajuan teknologi Komunikasi dan
informasi, khususnya media televisi.
Di samping media massa lainnya, seperti surat-kabar, majalah dan
juga radio. Pertanyaannya, apakah pola berdakwah seperti itu lebih efektif?
Realita di masyarakat menunjukkan, bahwa belakangan banyak tersuguh paket
tayangan siraman rohani di sejumlah stasiun televisi, yang menampilkan para
pendakwah dengan model ceramah yang menghibur. Faktanya, model berceramah
seperti ini sangat digemari masyarakat.
Pada pemirsanya pun cukup tinggi. Bila kita simak di salah satu
stasiun televisi swasta nasional, setiap pukul 05.00 wib dan juga ada yang
tayang pukul 06.00 wib, pemirsa bisa mengikuti ceramah agama yang disampaikan
oleh beberapa da’i yang belakang mereka mendapat tambahan ‘gelar’ sebagai da’i
selebriti atau da’I gaul dimana metode dakwah yang disampaikan layaknya
anak muda dengan metode yang khas ke anak muda-mudaan. Yang seharusnya dakwah
berkostum baju koko dan bersurban akan tetapi justru memakai celana jeans
bahkan terkadang tidak berkopiyah seperti halnya Ustadz Uje al-marhum. Kita
bisa memilih acara ceramah agama yang banyak ditayangkan televisi.
Salah satunya lagi, adalah acara yang menghadirkan Ustadz Muhammad
Nur Maulana.Kebetulan, dalam beberapa tahun terakhir ini namanya terus melejit
dan gaya, serta ucapannya sering ditirukan masyarakat dari kota hingga ke
pelosok kampung. Salah satu sapaan khasnya yang tidak asing ditelinga kita
yakni:“Jama..ahhhhh, ohhhh.... jamaah”, yang kemudian dijawab “ye,
ye, Alhamdulillah” oleh pemirsa yang hadir di studio televisi.
Sapaan khas da’i asal Makassar itu, seolah menyentuh seluruh
jamaah yang hadir dan bahkan jutaan masyarakat di seluruh Indonesia yang
menyaksikan lewat tayangan televisi. Gaya dan penampilan da’i muda kelahiran
tersebut itu, mampu mengungguli ketenaran da’i para pendahulunya, seperti KH
Zainuddin MZ, yang semasa hidupnya dijuluki da’i sejuta umat. Atau da’i lainnya
sekaliber KH Abdullah Gymnastiar atau yang sempat populer dengan panggilan Aa
Gym. Ustadz Muhammad Nur Maulana kerap membumbui ceramahnya dengan alunan
musik, diselingi dialog dengan para jamaah yang hadir.Dan biasanya diakhiri
dengan doa penutup yang tema-temanya sering terkait dengan birrul walidain,
berbakti kepada kedua orang tua. Doa yang dilafalkan dengan menggunakan bahasa
Indonesia itu, kerap menghanyutkan
jamaah yang hadir, hingga tidak jarang mereka meneteskan air mata. Untuk lebih
menarik acara sebagai pelengkap hiburan, dalam setiap penampilannya da’i yang
gayanya agak ‘feminin’ ini juga selalu didampingi bintang tamu, seorang
artis.[8]
Persoalannya, apakah metode ceramah agama yang penuh humor dan
menghibur seperti itu mengena sasaran? Kalau kita simak keberadaan media massa,
biasa disikapi dengan dua cara,pertama dipandang sebagai pembentuk masyarakat,
atau kedua sebagai cermin yang memantulkan keadaan masyarakat. Yang pertama
bertolak dari paradigma yang menempatkan media sebagai suatu instrumen yang
memiliki daya yang kuat dalam
mempengaruhi alam pikiran warga masyarakat. Posisi media semacam ini akan melihat keberadaan media massa sebagai faktor penting yang memiliki daya mempengaruhi sasarannya.
mempengaruhi alam pikiran warga masyarakat. Posisi media semacam ini akan melihat keberadaan media massa sebagai faktor penting yang memiliki daya mempengaruhi sasarannya.
Sejumlah ahli bahkan merumuskan bahwa setiap komunikasi dengan
media massa pada dasarnya berpretensi untuk mengubah sasaran agar sesuai dengan
kehendak komunikator. Paradigma ini menempatkan komunikan sebagai obyek yang
pasif, yang dapat diubah dan dibentuk oleh pihak komunikator.
Sementara, Ustadz Muhammad Nur Maulana sebagai pelaku dakwah di
media (televisi), mengakui bahwa tidak semua masyarakat menyukai pola atau
model ceramah yang menjadi ‘trademark’ gayanya. Menurutnya, model dan
metode dakwah memang bermacam-macam. Baginya, dakwah yang diselingi humor itu
hanya metode dakwah saja, sebab tujuannya adalah bagaimana jamaah mendapatkan
pengetahuan ajaran Islam. Yang
terpenting bagaimana agar jamaah tidak bosan mendengarkan,karena terbukti ceramah-ceramah pengajian pada umumnya,sering membosankan dan menjenuhkan, sehingga pesan agama yang baik menjadi tidak tersampaikan dengan baik.[9]
terpenting bagaimana agar jamaah tidak bosan mendengarkan,karena terbukti ceramah-ceramah pengajian pada umumnya,sering membosankan dan menjenuhkan, sehingga pesan agama yang baik menjadi tidak tersampaikan dengan baik.[9]
Agama bagi manusia adalah sebagai pegangan dan petunjuk kehidupan,
Islam sebagai agama adalah sejak diwahyukannya kepada Nabi Muhammad SAW sampai
berakhirnya kemanusiaan nanti. Ajaran islam menunjukkan integrasi positif
berupa keseimbangan-keseimbangan yang diperlukan dalam kehidupan.
Tidak terwujudnya keseimbangan akan mengakibatkan
kepincangan-kepincangan, misalnya sangat mementingkan materi sementara urusan
spiritual terabaikan atau sebaliknya.Karena itu manusia yang dikehendaki ajaran
ini adalah manusia seutuhnya bukan sepotong-potong atau setengah-setengah, “fiaddunya
hasanah wa fi al-akhirati hasanah”.[10]
Agama telah memberikan garis tegas mengenai tiadanya penindasan
antar umat beragama, antara manusia. Tiada perbedaan warna kulit dan jenis
kelamin. Musyawarah adalah inti dari ajaran islam demi menyelamatkan umat
manusia agar tidak terjadi problem diantara kita sebagai hamba Allah.
Keadilan,kejujuran, saling menghargai, ingarso sung tuladha tutwuri handayani
semua akan bisa merasakan kedamaian dan tidak ada dusta di antara kita.
Agama memberikan perlindungan dan tuntunan perlindungan terhadap
manusia diantaranya adalah badan, akal pikiran, harta, keturunan dan lingkungan
hidup yang baik aman tentram gemah ripah loh jinawe, murah sandang, pangan dan
papan. Tampaknya ajaran islam yang telah di kemukakan melalui al-qu’an dan
as-sunah tersebut masih merupakan ajaran ideal gabi masyarakat saat ini
terutama masyarakat yang sudah mengalami perkembangan teknologi dan komunikasi.
Pada kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan
dakwah sering dijumpai adanya kekurangan, kesalahan maupun kejanggalan dalam
komponen-komponen dakwah, seperti materi yang tidak sesuai, da’I yang kurang
menguasai
media dakwah, terbatasnya dana dan sebagainya. Namun semua itu bukanlah menjadi penghalang untuk berhenti berdakwah,karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna, hanya Allah yang paling sempurna.12 Yang terpenting disini adalah bagaimana problematika tersebut dapat segera diatasi dan dicari solusi jalan keluarnya sehingga kegiatan dakwah dapat berjalan dengan baik. Maka dalam rangka memperoleh pengalaman dalam pelaksanaan dakwah seorang da’I atau mubaligh harus memperbanyak aktifitas atau kegiatan dakwah serta terus berlatih.
media dakwah, terbatasnya dana dan sebagainya. Namun semua itu bukanlah menjadi penghalang untuk berhenti berdakwah,karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna, hanya Allah yang paling sempurna.12 Yang terpenting disini adalah bagaimana problematika tersebut dapat segera diatasi dan dicari solusi jalan keluarnya sehingga kegiatan dakwah dapat berjalan dengan baik. Maka dalam rangka memperoleh pengalaman dalam pelaksanaan dakwah seorang da’I atau mubaligh harus memperbanyak aktifitas atau kegiatan dakwah serta terus berlatih.
Semakin rajin dan banyak latihan serta mengambil contoh dari da’I
atau mubaligh yang sudah ahli maka seorang da’i semakin mengetahui kekurangan
dan kelemahan untuk selanjutnya dapat memperbaiki kekurangannya sehingga
dakwahnya berhasil.
Di era globalisasi dan informasi ini perubahan masyarakat lebih cepat jika dibandingkan dengan pemecahan dakwah.
Di era globalisasi dan informasi ini perubahan masyarakat lebih cepat jika dibandingkan dengan pemecahan dakwah.
Manusia sekarang ini tengah disibukkan oleh kebutuhan yang semakin
kompetitif, bersaing dengan aneka ragam tantangannbahkan berkorban raga serta
jiwanya. Termasuk di dalamnya adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang telah membawa perubahan manusia untuk mengikuti kepentingan diri
sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain bahkan tidak mustahil sering
menimbulkan benturan antar sesama
manusia. Banyak manusia yang mengalami krisis moral, dengan meninggalkan ibadah serta amal shaleh lainnya.[11]
manusia. Banyak manusia yang mengalami krisis moral, dengan meninggalkan ibadah serta amal shaleh lainnya.[11]
Oleh karena itu setiap kader dakwah harus selalu sadar dan waspada
terhadap perkembangan masyarakat dewasa ini sehingga masyarakat lebih sensitif
atau peka terhadap lingkungan sekitar.
Yang lebih penting lagi untuk memperhatikan adalah para generasi
muda yang masih pengguran, padahal mereka semua sebenarnya adalah masyarakat
yang menjadi dambaan yang tentunya sudah terpelajar.
Untuk kegiatan beragama para generasi muda dan menjadi tumpuhan
harapan bangsa dan Negara dan agama seringkali terbentur untuk tidak
melaksanakan bahkan mengabaikan shalat, sementara kehidupan di luar telah
membudaya pergaulan bebas, mabuk-mabukan, maraknya perjudian, perkosaan, penganiayaan,pembunuhan
dan sebagainya. Mampukah umat islam terlebih seorang da’I untuk memikul beban
seberat ini?.Saat ini perusahaan perusahaan, rumah sakit, hotel, lestoran,
swalayan seharusnya sudah memiliki masjid atau mushalla untuk melakukan ibadah shalat
maupun shalat jum’at. Insya Allah dengan terlaksananya itu mental serta moral
karyawan menjadi lebih baik dan ini merupakan suatu keuntungan bagi perusahaan
tersebut. Namun fakta menunjukkan lain, bahkan para pemilik perusahaan,
lestoran, hotel, swalayan, rumah sakit terkadang tidak begitu dihiraukan atau
bahkan para pemiliknya yang notabene non muslim sengaja menghambat dakwah di
lingkungan perusahaannya. Kalaupun diijinkan untuk pelaksanaan shalat waktunya
dipersempit itupun dengan alokasi batas istirahat dan makan.
Ini adalah sebagian gambaran problematika tantangan dakwah saat
ini khususnya di era teknologi dan komunikasi yang mau tidak mau harus kita
hadapi dan merupakan tanggungjawab untuk islam ke depan.
b. Bentuk-Bentuk
Kegiatan Utamanya
Jika berbicara tentang bentuk- bentuk kegiatan
ulama/dai selebritis tentulah yang paling utama berdkahwah secara lisan di
masjid maupun di televisi dan media lainnya. Namun, memang penulis akan merinci
secara detail apa saja bentuk kegiatan mereka sehari- hari sbegai berikut:
1.Berdakwah
Berbicara tentang kegiatan ulama selebritis
tentu kita bisa melihat mereka melakukan dakwah di media telivisi sosial dan
cetak seperti yang dilakukan Ustadz Yusuf Mansur.
Ia dilahirkan dari keluarga Betawi yang
berkecukupan pasangan Abdurrahman Mimbar dan Humrif’ah dan sangat dimanja orang
tuanya. Lulusan terbaik Madrasah Aliyah Negeri 1 Grogol, Jakarta Barat, tahun
1992. Selalu bisa terlihat berceramah di pagi maupun sore hari. Khusus dibulan
Suci Ramadhan ini bisa dilihat di Metro TV dan TV One serta diberbagai media
cetak, sosial lainnya.[12]
Bahkan ia juga tidak hanya menyampaikan ceramah
di depan media Ustadz Yusuf juga membuat buku ‘Wisata Hati Mencari Tuhan Yang
Hilang’. Buku yang terinspirasi oleh pengalamannya di penjara saat rindu dengan
orang tua. Tak dinyana, buku itu mendapat sambutan yang luar biasa.
Ustadz Yusuf sering
diundang untuk bedah buku tersebut. Dari sini, undangan untuk berceramah mulai
menghampirinya. Di banyak ceramahnya, ia selalu menekankan makna di balik
sedekah dengan memberi contoh-contoh kisah dalam kehidupan nyata.
Karier Ustadz Yusuf makin mengkilap
setelah bertemu dengan Yusuf Ibrahim, Produser dari label PT Virgo Ramayana
Record dengan meluncurkan kaset Tausiah Kun Faya Kun, The Power of Giving dan
Keluarga.[13]
Ustadz Yusuf juga
menggarap sebuah film berjudul KUN FA YAKUUN yang dibintanginya bersama
Zaskia Adya Mecca, Agus Kuncoro, dan Desy Ratnasari. Film ini merupakan proyek
pamungkas dari kegiatan roadshow (ceramah keliling) berjudul sama selama
Januari-April 2008.[14]
Melalui Wisata Hati, ia menyediakan
layanan SMS Kun Fayakuun untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ada. Ia
juga menggagas Program Pembibitan Penghafal Al Quran (PPPA), sebuah program
unggulan dan menjadi laboratorium sedekah bagi seluruh keluarga besar Wisatahati.
Donasi dari PPPA digunakan untuk mencetak penghafal Alquran melalui pendidikan
gratis bagi dhuafa Pondok Pesantren Daarul Quran Wisatahati. Ustadz Yusuf
bersama dua temannya mendirikan perguruan tinggi Sekolah Tinggi Ilmu Komputer
Cipta Karya Informatika.[15]
Ustad Yusuf juga melakukan kegiatan ekonomi dalam bentuk bisnis PAYTREN bergerak dalam bidang teknologi digital virtual multipayment. Bisnis ini tentang Teknologi pembayaran/pembelian segala macam kebutuhan sehari-hari, baik untuk pribadi, keluarga atau keperluan kantor seperti isi ulang pulsa, listrik, internet, telepon, PDAM, cicilan, tv berbayar, pembelian tiket pesawat, kereta api, bahkan kelak untuk melakukan belanja apapun baik itu di mall, toko, atau warung bisa memakai HP saja tanpa membawa uang cash.[16]
2.Olah Raga
Selain berdakwah, membuat majelis dzikir para
ulama atau/dai selebritis juga melakukan berbagai kegiatan olah raga seperti
berkuda. Hal itu seperti dilakukan oleh ustad Arifin Ilham didalam
kesehariannya.
Sebab menurut Arifin Ilham berkuda itu sangat
penting sebagaimana hadis rirayat Bukhari Muslim: Dari
Amirul Mu'minin, Umar al-Faruq ibn al-Khattab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang dan memanah”
(HR Bukhari Muslim).[17]Arifin
Ilham juga menjelaskan, Allah berfirman di dalam
Alquran, artinya:
60. Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang
dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang
orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.
apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan
cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).
Selain
tu juga menurut Arifin Ilham dalil pentingnya berkuda[18]
sebagaimana di dalam Al Quran surat Al 'Aadiyaat 1-6:
Artinya
: “Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, Dan kuda yang
mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), Dan kuda yang menyerang dengan
tiba-tiba di waktu pagi, Maka ia menerbangkan debu, Dan menyerbu ke
tengah-tengah kumpulan musuh, Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak
berterima kasih kepada Tuhannya
3.Politik
Mereka
para Ulama selebritis seperti Bachtiar
Nasir, AA GM, Arifin Ilham, Yusuf Mansur dan lainnya tidak hanya melakukan dakwah
secra lisan di media sosial maupun cetak, akan tetapi ikut serta melakukan
aktifitas politik di negeri ini.
Kegiatan
politik sekaligus berdakwah ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan dzikir dan
aksi yang dilakukan beberapa waktu lalu dalam kontestasi pemilihan pemimpin di
negeri ini. Mereka tidak takut dan tidak malu- malu terjun langsung ke tengah-
tegah ummat dalam membela kepentingan
ummat Islam dalam menegakkan amar ma’ruf nah munkar.
k tidak boleh menista agama siapapun. Dan ini akan menjadi pilar
untuk menjaga keutuhan kebhinekaan dan kedamaian rakyat negeri kita tercinta
ini,”[19] .
Menurut Arifin
Ilham, Allah melarang hambaNya untuk menghina
keyaqinan selain pada-Nya sebagaimana QS Al An’am 108:[20]
108. Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.
c.
Perbandingan dengan Ulama Konvensional
Sebelum kita
melihat perbandingan dengan ulama konvensionla penulis memandang perlu
menegaskan tugas utama para ulama yaitu melaksanakan tugas kenabian, membacakan
ayat-ayat Al-Quran, yakni menyampaikan risalah Islam, membimbing umat agar
hidup di bawah naungan syariat Allah SWT, melakukan amar makruf dan nahi
mungkar, serta menjawab berbagai pertanyaan sesuai dengan pandangan Islam.
Sebagaimana QS Al Baqarah 151:[21
151. Sebagaimana (kami
telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul
diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu
dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu
apa yang belum kamu ketahui.
Imam
Abu Dawud meriwayatkan hadits dari Abu Darda r.a. bahwa Rasulullah saw
bersabda: Sesungguhnya seorang alim akan dimintakan ampun
kepada Allah oleh siapa saja yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan paus
di laut pun mendoakannya. Keutamaan seorang alim terhadap seorang abid (ahli
ibadah yang tidak alim)seperti kelebihan bulan dibandingkan berbagai bintang,
dan para ulama adalah pewaris para Nabi,..[22]
Di sini penulis
penting menuliskan bagaimana kegiatan dan apa saja karya- karya yang dilakukan
para ulama konvensional. Sebab, untuk mengetahui perbandingan yang objektif
maka paparan dan karya yang dilakukan ulama selebritis di atas harus
dibandingkan dengan kegiatan dan karya yang dilakukan ulama konvensional.
Setidaknya hanya beberapa
sosok ulama konvensional yang penulis buat untuk mewakili yang ulama lainnya,
sehingga keterbatasan dan keterwakilan setidaknya bisa menjadi perbandingan
bagaimana ulama konvensional dan ulama selebritis dari zaman berzaman.
Pertama kita
melihat ulama konvensional Syekh
Musthafa Husei, lahir di Tanobato, Kayu Laut pada tahun 1886 M/1303 H dengan
nama kecil Muhammad Yatim dari pasangan H. Husein Nasution dan Hj. Halimah.
Ayahnya seorang saudagar yang taat beragama. Keadaan masyarakat di Tanobato
saat itu sangat menyedihkan akibat perlakuan penjajah Belanda yang
memberlakukan sistem tanam paksa bagi para petani.
Di
usia tujuh tahun, Syekh Musthafa bersekolah di Sekolah Dua, Kayu Laut. Setelah
lima tahun beliau tamat dan melanjutkan belajar kepada Syekh Abdul Hamid di
Huta Pungkut. Syekh Abdul Hamid merupakan kerabatnya sendiri yang menamatkan pendidikannya
di Mekkah. Pada tahun 1900, Syekh Musthafa berkesempatan melanjutkan
pendidikannya ke Mekkah, Saudi Arabia.
Selama
di Mekkah beliau berguru kepada ulama-ulama terkemuka, 10 orang di antaranya :
Syekh Abdul Qodir Al-Mandily, Syekh Mukhtar Bagan, Syekh Ahmad Sumbawa, Syekh
Salih Bafadil, Syekh Ali Maliki, Syekh Umar Bajuneid, Syekh Ahmad Khatib, Syekh
Abdul Rahman, Syekh Umar Sato dan Syekh Muhammad Amin Madinah. Atas bimbingan
para ulama terkemuka di atas ditambah kecerdasan Syekh Musthafa maka beliau
dipercaya gurunya untuk menjadi pengajar di Masjidil Haram. Bidang ilmu utama
yang ditekuninya adalah ilmu fikih.
Pada
tahun 1912, Syekh Musthafa kembali ke kampung halamannya karena ayahnya
meninggal dunia. Syekh Musthafa mulai mengajar dari masjid ke masjid di sekitar
Tanobato. Kehadiran beliau dalam mengajarkan Islam di Tanobato mendapat
sambutan yang baik dari masyarakat, apalagi beliau tetap berpegang teguh dalam
mempertahankan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja). Hal inilah yang
memberikan pemikiran bagi beliau untuk membuat sebuah wadah dalam mengamalkan
dan mengajarkan ilmu yang diperolehnya sampai ke Mekkah. Pada tanggal 12
Nopember 1912 beliaupun mendirikan Pondok Pesantren di Tanobato, Kayu Laut.[23]
Di
tahun 1915 terjadi bencana banjir sangat besar yang menghanyutkan rumah-rumah
penduduk di Tanobato sehingga tanggal 25 Nopember 1915 Syekh Musthafa hijrah
ke Purba Baru. Seorang muridnya yang bernama Abdul Halim Lubis
ikut hijrah dari Tanobato ke Purba Baru. Abdul Halim Lubis ini kelak menjadi
menantu Syekh Musthafa yang bernama lengkap Syekh Abdul Halim Khatib. Hijrahnya Syekh Musthafa ke Purba Baru ternyata banyak
berpengaruh pada perkembangan pesantrennya dengan menjadikannya Madrasah
Musthafawiyah Purba Baru. Sejak saat itu Syekh Musthafa mendapat julukan
sebagai Tuan Purba atau Tuan Natobang dan Syekh Abdul Halim mendapat julukan
sebagai Tuan Naposo.
Di
pesantren Purba Baru ini para santri tidak hanya mendapatkan pelajaran agama
saja tetapi bidang-bidang lain yang nantinya bisa jadi bekal di masa yang akan
datang. Para santri laki-laki diwajibkan tinggal di gubuk-gubuk kecil di
sekitar pesantren yang mendidik agar para santri mampu hidup mandiri. Syekh
Musthafa dikenal sebagai guru agama yang juga mengajarkan para santrinya untuk
mampu menjadi pengusaha, pedagang dan petani yang baik dan sukses. Suasana
pendidikan yang dikembangkan Syekh Musthafa di Purba Baru sangat menarik bagi
masyarakat sekitar untuk mengirimkan anak-anaknya belajar di Musthafawiyah.
Suasana pendidikan seperti itu masih dipertahankan sampai saat ini.[24]
Pada
tahun 1928 para pemuda se-Indonesia mengumandangkan Sumpah Pemuda yang
memberikan semangat ekstra bagi pergerakan melawan penjajahan. Semangat Sumpah
Pemuda inipun menular sampai ke Tapanuli. Berbagai macam organisasi pergerakan
masuk ke Tapanuli. Syekh Musthafa pun turut serta dalam pergerakan tersebut. Di
tahun 1930an, Syekh Musthafa yang aktif dalam pergerakan juga membuka usaha
pertanian dan pengolahan hasil tani sehingga pengelolaan Musthafawiyah banyak
dipercayakan kepada Tuan Naposo dibantu oleh Syekh Ja’far Abdul Wahab gelar
Tuan Mosir yang juga menantu Syekh Musthafa. Tercatat dalam periode ini Syekh Ali Hasan Ahmad Addary pernah mengabdikan diri turut mengajar di Musthafawiyah ini.[25]
Di
masa pergerakan ini banyak aliran-aliran Islam yang baru (Wahabi dan
sejenisnya) turut masuk ke Tapanuli sehingga hal ini menjadi perhatian khusus
Syekh Musthafa. Syekh Musthafa pernah menjadi Ketua Cabang Syarikat Islam.
Masuknya Muhammadiyah ke Tapanuli Selatan di tahun 1930 ternyata banyak
menimbulkan pertentangan di kalangan kaum tua sehingga lahirlah Persatuan
Muslim Tapanuli (PMT) di Padangsidimpuan yang diprakarsai Syekh Musthafa.
Terbentuknya Al-Washliyah tahun 1930 di Kota Medan tidak banyak membawa
pengaruh terhadap perkembangan Islam di Tapanuli Selatan. Ketidakpuasan Syekh
Musthafa terhadap organisasi dari Medan maka tahun 1939 Syekh Musthafa
mendirikan Al Ittihadiyatul Islamiyah (AII) di Purba Baru untuk menyamakan kurikulum
madrasah di Tapanuli Selatan demi mempertahankan ajaran Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Setelah
Indonesia merdeka di tahun 1945, Syekh Musthafa mengumpulkan para ulama
Ahlussunnah Wal Jama’ah se-Tapanuli (bagian) Selatan seperti Syekh Ali Hasan Ahmad, Syekh Baharuddin Thalib Lubis, Nuddin Lubis, dan lain-lain yang
kebanyakan terhimpun dalam AII yang menghasilkan kata sepakat bahwa organisasi
Nahdlatul Ulama (NU) yang paling sesuai dengan nafas ajaran Ahlussunnah Wal
Jama’ah. Pada tanggal 9 Februari 1947, Nahdlatul Ulama (NU) Sumatera Utara
resmi berdiri pertama kali di Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan. Syekh Musthafa
Husein terpilih menjadi Rais Syuriah pertama dan Syekh Baharuddin Thalib Lubis
terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah pertama. Pesantren Musthafawiyah Purba Baru
menjadi pusat organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di Sumatera Utara.
Sejak
saat itu NU pun berkembang di Sumatera Utara khususnya di Tapanuli Selatan.
Perkembangan NU ini membawa dampak positif bagi misi mempertahankan ajaran Ahlussunnah
Wal Jama’ah di Tapanuli Selatan. Syekh Musthafa Husein adalah simbol bagi
Nahdlatul Ulama (NU) di Sumatera Utara. Pesantren Musthafawiyah pun menancapkan
namanya di bumi nusantara sebagai pusat perkembangan Nahdlatul Ulama di
Sumatera Utara. Syekh Musthafa pun sempat menjadi A’wan Syuriyah PBNU periode
1954 – 1956. Di saat bersamaan NU berubah menjadi Partai Poltik memisahkan diri
dari Masyumi dan pada Pemilu 1955 Syekh Musthafa ikut menjadi calon anggota
Konstituante dan terpilih mewakili Partai NU.
Pada
tanggal 16 Nopember 1955, Syekh Mustafa Husein Nasution menghembuskan nafas
terakhir di Padangsidimpuan dan dimakamkan di Purba Baru. Sepeninggal Syekh
Musthafa, Musthafawiyah dikelola dan dipimpin oleh putra tertuanya, H. Abdullah
Musthafa Nasution. Saat ini Musthafawiyah dikelola dan dipimpin oleh cucu Syekh
Musthafa yang bernama H. Musthafa Bakri Nasution.[26]
Kedua ulama konvensional yaitu Syekh H. Muhammad Yunus seorang
ulama Al washliyah yang selama hidupnya mengembangkan dakwah dan pendidikan
Islam. Banyak ulama-ulama terkenal yang menuntut ilmu melalui beliau
diantaranya adalah H.Abdurrahman Syihab, H.Baharuddin Ali, OK. H. Abdul Aziz,
H.Ismail Banda, Abdul Wahab dan lain-lain.
Syekh H. Muhammad Yunus dilahirkan di Perkampungan Pecukaian Binjai, Sumatra
Utara pada tahun 1889. Beliau berasal dari Gunung Beringin kecamatan
Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal. Ayahnya bernama H.Muhammad Arsyad. Di
kota Binjai beliau menuntut ilmu pengetahuan dasar agama dengan sabar dan
tekun. Melanjutkan pelajarannya di Titi Gantung Binjai dan berguru dengan Syekh
H.Abdul Muthalib. Kemudian beliau berguru dengan tuan Syekh H. Abdul Wahab
Rokan Naksyabandi di perguruan Babussalam Langkat dengan mendalami ilmu fiqih
dan mantik.
Syekh H.Muhammad Yunus tidak pernah henti-hentinya untuk menggali ilmu
pengetahuan dariberbagai sumber. Berangkatlah beliau ke Malaysia (Kedah) untuk
berguru dengan Syekh Muhammad Idris Petani. Selang beberapa lama kemudian
beliau melanjutkan pendidikannya ke Mekkah (Saudi Arabia) belajar dengan Syekh
Abdurrahman , Syekh Abdul Qadir Mandili, dan Syekh Abdul Hamid, Setelah
beberapa tahun menjadi murid disana beliau pun mengajar di Makhtab Sultiah Mekkah.
Sekembalinya dari Timur Tengah beliau menambah pengetahuannya lagi di Malaysia
(Penang) dengan Syekh Jalaluddin Petani dan Syekh Abdul Majid Keala Muda
Penang.
Sekembalinya di tanah air beliau menyumbangkan tenaga dan pikirannya di Maktab
Islamiyah Tapanuli Medan dan menjadi guru atau kepalah di madrasah tersebut.
Dalam masa kepmimpinannya makhtab tersebut merupakan Madrasah tertua di Sumatra
Timur.Beliau membina murid-muridnya untuk menjalin persatuan tanpa membedakan
suku dan etnis dan tingkat kebangsawanan. Melalui persatuan pelajar-pelajar
Islam “Debating club” pada tahun 1930 lahirlah organisasi Al Jam’iyatul
Washliyah di kota Medan. Ketika para pelajar makhtab Islamiyah Tapanuli
mencetuskan lahirnya organisasi yang bernama Al Washliyah mereka meminta
pendapat kepada tuan guru H. Muhammad Yunus mengenai nama organisasi ini
sesusai shalat Istikharah beliau menyampaikannya di hadapan para khalayak nama
organisasi yang baru dibentuk ini adalah “Al Jam’iyatul Washliyah” yang artinya
Organisasi yang saling menghubungkan sesamanya.
Dalam usianya ke-60 disaat terjadinya pendudukan Belanda (tahun 1948-1950)
beban tanggung jawab beliau sangat berat khususnya dalam bidang ekonomi untuk
menutupi kebutuhan keluarga. beliau mempunyai seorang istri dan sepuluh orang
anak yang masih kecil. Sampai-sampai beliau haus mengajar diberbagai tempat
seperti sekolah menengah Islam Al Washliyah Jalan Hindu Madrasah Al Washliyah
di jalan Mabar, mengajar di jalan Sungai Kera Medan, Pasar Bengkel dan Perbaungan.
Inilah yang di tekuni beliau setiap harinya belum lagi kegiatan dakwah dan
pengajian lainnya. dalam usianya yang semakin lanjut di barengi dengan
pekerjaan berat dan tanggung jawab membutuhi keluarga. Beliau pun menderita
sakit dari hari ke hari penyakit tersebut semakin parah, sehingga pada tanggal
7 Juli 1950 bertepatan pada tanggal 1 Syawal 1364 H dalam usianya ke 61 tahun
beliau di panggil oleh Allah SWT ke sisi-Nya.[27]
Ketiga Syekh
Nawawi al Bantani alias syekh Nawawi al Jawi Al Bantani Asy Syafi’i salah satu
dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjidil Al Haram di Makkah. Nama
lengkapnya Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al –Jawi al
Bantani, lahir di Tanara Serang , Banten 1230 H/1831 M.[28]
Jejak Syekh
Nawawi, baik melalui murid dan pengikutnya maupun melalui kitabnya, yang masih
berpengaruh dan dipakai di pesantren hingga kini benar- benar pantas
menempatkannya sebagai nenek moyang gerakan intelektual Islam di Nusantara.
Bahkan, sangat boleh jadi, ia merupakan bibit penggerak (king maker)
militansi muslim terhadap penjajah Belanda.[29]
Syekh Nawawi Banten juga banyak menulis buku hampir setiap displin
ilmu yang dipelajarinya di pesantren dan dituliskan dalam bahasa arab. Beberapa
karyanya merupakan syarah (komentar) atas kitab yang digunakan di
pesantren dan terkadang mengoreksi matan (kitab asli) yang dikomentari.
Karya- karya
monumentalnya antara lain adalah Qathr al Ghaits, merupakan syarah dari kitab akidah yang
terkenal, Ushul qBis, karya Abu Laits al-hasa ara Samarqandi, yang
dijawa dikenal dengan sebagai Asmaraqandi.[30]
Kitab Madarij al- su’ud ila Ikhyisah al – Burud, yangberbahasa arab
dalam berbagai terbitan. Kaya acuan lain yang paling penting ialah Minhaj
al- Thalibin.
Teks dalam
bidang akidah ialah umm Al-Barahin (disebut juga Al- Durrah)
karya Abdulllah M.bin Yusuf al- Sanusi.tidak hanya itu ia juga menulis kitab
yang digunakan anak- anak dan remaja yaitu Aqidh al- Awwam[31].
Syekh Nawawi al-
Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syekh A’li, sebuah kawasan pinggiran kota
Mekkah, pada 25 Syawal 1314 H/1879 M dan dimakamkan di sana. Sampai saat ini
nama beliau masih harum di Nusantara, bahkan di seluruh dunia.karya- karyanya
menjadi rujukan penting dan terus diabadikn hingga saat ini.[32]
d. Ulama Selebriti
dan Pembentukan Budaya Keagamaan
Pertama-tama ketika Rasulullah berdakwah, beliau telah mengawali
berdakwah dengan menyampaikan risalah untuk membina pribadi umat. Risalah Nabi
Saw, tidaklah berhenti pada perumusan-perumusan kaidah-kaidah falsafah yang
universal dan abstrak, yang dilepaskan mengapung di awang-awang, untuk dilihat
dan dikagumi, atau dalil-dalil theologi untuk dikunyah sambil duduk. Tujuan
risalah Rasulullah adalah untuk menghidup sempurnakan manusia sehingga benar-benar
hidup. Dua puluh tiga tahun lamanya Muhammad Saw, menyampaikan risalahnya,
mewujudkan kaidah-kaidah itu ditengah-tengah kekuatan jiwanya, dengan contoh
dan teladan, dengan amal dan jihadnya, dalam suka dan duka sampai risalahnya
tumbuh dan terwujud pada pribadi-pribadi mereka yang menerimanya. Risalah
Muhammad Saw, membina pribadi sebagai “social being” mencetak umat yang
corak dan tujuan hidup yang sudah menentu. Hidupnya berisikan amal yang shaleh,
pancaran iman, kedua kakinya terpancang di bumi, jiwanya menjangkau ke langit.
Hal ini sesuai dengan firman Allah yang berbunyi :
“Seruhlah
kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan nasehat-nasehat yang baik baik, dan
bertukar fikiranlah dengan cara yang lebih baik, sesungguhnya Tuhanmu lebih
mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya,dan Beliau yang mengetahui siapa
yang terpimpin[33].
Seorang da’i tentu menyadari bahwa pesan dakwahnya tidak hanya
untuk segolongan umat saja, melainkan akan disampaikan kepada seluruh umat
dengan bermacam corak, ragam budaya dan latar-belakang lainnya. Dia akan
berhadapan dengan fahamfaham dan pegangan-pegangan tradisional yang sudah
berurat berakar, dengan setengah orang yang apriori dan akan menolak tiap-tiap
apa yang baru.
Dengan
kegigihannya orang yang ingin mempertahankan gengsinya, dan orang-orang yang
khawatir pesan dakwah yang disampaikan akan merugikan dirinya. Dengan kejahilan
orang yang bodoh, yang bereaksi dengan
cara yang bodoh pula, dengan orang yang cerdik-cendekia yang hanya mau menerima
sesuatu atas dasar hujjah dan keterangan-keterangan yang ‘nyata’. Dan dengan
orang-orang yang sangsi, disebabkan oleh
bermacam pendengaran yang serba kepala, dan bermacam tipe dan model
manusia lainnya.[34]
Seluruh jenis dan tipe manusia, harus dihadapi oleh seorang pendakwah agama. Masing-masing harus dihadapi secara arif, bijaksana, dan sepadan dengan tingkat kecerdasan, sepadan dengan alam fikiran, perasaan dan tabiat masing-masing. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Quran dalam surat An-Nahl : 125, memberi petunjuk bagi Rasul dan para pembawa risalah, bagaimana menyampaikan dakwah kepada manusia yang terdiri beragam karakter tersebut.
Syeikh Muhammad Abduh[35] menyimpulkan bahwa secara garis besar, umat yang dihadapi seorang da’i dapat dibedakan dalam tiga golongan, yang masing-masing harus dihadapi dengan cara yang berbeda beda pula:
a.Ada golongan cerdik-cendekia yang cinta kebenaran, dan
dapat berfikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka ini
harus dipanggil dengan hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dengan
dalil-dalil, dengan hujjah yang dapat diterima dengan kekuatan aqal mereka.
b.Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir
secara kritis dan mendalam,belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang
tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mauidzatun-hasanah, dengan
anjuran dan didikan yang baik, dengan ajaran yang mudah difahami.
c.Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan
tersebut, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak akan samapai
pula bila dilayani dengan
cara/metode seperti golongan awam, mereka suka membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas yang tertentu tidak sampai mendalam. Ini tidaklah berarti, bahwa menghadapi golongan awam selalu akan lebih mudah daripada menghadapi golongan cerdik-cendekia. Memang menghadapi golongan cerdik-cendikia itu memerlukan ilmu yang agak luas dan mendalam.
cara/metode seperti golongan awam, mereka suka membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas yang tertentu tidak sampai mendalam. Ini tidaklah berarti, bahwa menghadapi golongan awam selalu akan lebih mudah daripada menghadapi golongan cerdik-cendekia. Memang menghadapi golongan cerdik-cendikia itu memerlukan ilmu yang agak luas dan mendalam.
Akan tetapi seringkali mereka ini, dengan sekadar sindiran atau
karimah saja sudah dapat menangkap apa yang dimaksud. Namun kembali, bahwa
berdakwah ada ilmunya dan harus mampu menyesuaikan diri, dalam menghadapi
masyarakat yang menjadi sasaran dakwahnya. Di sinilah penulis melihat peran
ulama selebritis dalam menghidupkan dan membina pribadi ummat dengan lebih luas
seluruh penjuru negeri ini dengan cepat dan sesuai dengan pengetahuan dan
budaya ummat di negeri ini.
e.
Kontribusi sosio-Religius Ulama Selebriti
Kontribusi sosio- Religius ulama Selebritis
bisa dapat dilihat dari terjadi pembaharuan dalam konsep berdakwah di dalam era
moderen dan digitalisasi ini, jika dibandingkan dengan terdahulu. Sehingga dakwah yang dilakukan kepada ummat dapat dilakukan
secara lebih luas dan mempengaruhi semua lintasan waktu, tempat dan generasi,
baik kaum muda maupun orang tua, baik muslim maupun non muslim sekalipun.
Dengan berdakwah menggunakan media TV,
cetak, elektronik maupun media sosial lainnya, diakui memiliki daya jangkau
yang luas, bahkan hampir bisa dikatakan tak bisa diukur sehingga memasuki hampir
seluruh struktur sosial di tengah- tengah masyarakat terjangkau.
Secara sosial kemasyarakatan,
terjadi perubahan dan gaya hiduap masyarakat yang mencontoh terhadap apa yang
dilakukan para ulama selebritis sehingga lebih mudah memasuki dan menarik
keperibadian masyarakat dalam menjalankan misi dakwah sebagaimana yang
disampaikan rasul.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Tantangan dakwah beraneka ragam bentuknya, selama ini kita hanya mengenal
dalam bentuk klasik; penolakan, cibiran, cacian, bahkan teror. Banyak para da’I
mampu mengatasi dengan baik Karena didukung oleh niat yang kuat sebagai seorang
pejuang. Meski demikian ada pula yang tidak mampu mengatasi hingga tersingkir
dari medan dakwah. Kini ada tantangan baru dalam dakwah. Ketika kehidupan
berpolitik dan bernegara telah melibatkan partisipasi langsung seluruh
masyarakat maka yang terjadi adalah muncullah banyak politikus dan pemimpin
negeri ini yang berlatar agama cukup kuat. Tantangan dakwah dalam bentuk ini
menjawab tuntutan zaman diera modern, khususnya diera teknologi informasi dan komunikasi
yang sudah mengglobal seakan dunia berada dalam sebuah genggaman kita.
Fasilitas internet merupakan yang terlengkap dan terefisien, dimana
segala bentuk dan macam informasi dapat diakses dengan mudah dan murah termasuk
dalam hal ini adalah dakwah diera teknologi didukung dengan semakin menjamurnya
warung internet yang memasang tarif murah, kemana dan dengan siapapun. Sekarang
kita bisa lakukan dakwah dengan mengunakan fasilitas digital bisa melalui
radio, televise, telpon seluler, media internet, facebook, atau twiter. Dakwah
bisa dilakukan melalui media massa dan diterima oleh orang banyak. Karena
sifatnya massal maka penerima pesan dakwah tidak hanya dikalangan tertentu
saja. Kalangan yang dijangkau bisa luas begitu pula dampak yang ditimbulkannya.
Oleh karena itu, kini berdakwah mempunyai tantangan sendiri.
Namun, kemajuan teknologi dan informasi, khususnya media televisi, memungkinkan
seorang da’i untuk berimprofisasi yang diselingan humor dan hal-hal lain, agar
materi ceramahnya tetap menarik untuk disimak serta tidak membuat jenuh bagi mad’u.
Kegiatan dakwah akan dapat berjalan secara efektif dan efisien harus
menggunakan cara-cara yang strategis dan tepat dalam menyampaikan ajaran-ajaran
Allah SWT. Salah satu aspek yang bisa ditinjau adalah dari segi sarana dan
prasarana dalam hal ini adalah media dakwah, karena dakwah merupakan kegiatan
yang bersifat universal yang menjangkau semua segi kehidupan manusia, maka
dalam penyampaiannya pun harus dapat menyentuh semua lapisan masyarakat. Para
kader dakwah harus memiliki karakter yang kuat agar bisa mensikapi berbagai
tantangan tersebut dengan tegar.
Kegiatan dakwah akan dapat berjalan secara efektif dan efisien
harus menggunakan cara strategis dalam menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT.
Salah satu aspek yang bisa ditinjau adalah dari segi sarana dan prasarana yakni
media dakwah, karena dakwah
merupakan kegiatan yang bersifat universal yang menjangkau semua segi kehidupan manusia, maka dalam penyampaiannya pun harus dapat menyentuh semua lapisan. Yang terpenting di sini adalah bagaimana tantangan dakwah dan problematika tersebut dapat segera diatasi dan dicari solusi jalan keluarnya sehingga kegiatan dakwah dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu setiap kader dakwah harus selalu sadar dan waspada terhadap perkembangan masyarakat dewasa ini sehingga masyarakat lebih sensitive atau peka terhadap lingkungan sekitar. Ini merupakan sebagian gambaran problematika tantangan dakwah saat ini khususnya di era teknologi dan komunikasi yang mau tidak mau harus kita hadapi dan merupakan tanggung jawab untuk Islam kedepan. Semoga Allah yang maha perkasa senantiasa membimbing memberi kekuatan kepada kita untuk melaksanakan dakwah dalam rangka memperoleh ridha dan maghfirah dari Allah SWT.
merupakan kegiatan yang bersifat universal yang menjangkau semua segi kehidupan manusia, maka dalam penyampaiannya pun harus dapat menyentuh semua lapisan. Yang terpenting di sini adalah bagaimana tantangan dakwah dan problematika tersebut dapat segera diatasi dan dicari solusi jalan keluarnya sehingga kegiatan dakwah dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu setiap kader dakwah harus selalu sadar dan waspada terhadap perkembangan masyarakat dewasa ini sehingga masyarakat lebih sensitive atau peka terhadap lingkungan sekitar. Ini merupakan sebagian gambaran problematika tantangan dakwah saat ini khususnya di era teknologi dan komunikasi yang mau tidak mau harus kita hadapi dan merupakan tanggung jawab untuk Islam kedepan. Semoga Allah yang maha perkasa senantiasa membimbing memberi kekuatan kepada kita untuk melaksanakan dakwah dalam rangka memperoleh ridha dan maghfirah dari Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Pentafsir al Quran, Cet.I, 1973.
Sayyid
Qutub, Fi Dzilali Al Quran,Beirut: Libanon, Ihyau Al Turats Al Araby,
Cet.V.1967., VI.
Tim Redaksi, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
Cetakan Pertama Edisi IV, 2008.
Ibnu
Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, Mesir: Isa Al Halabi Wasirkahu, t.th, III.
AlQuran
dan Terjemahan, digital.
M. Quraish Shihab ,
Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Volume 11, Jakarta:
Lentera Hati, Cetakan Keempat, 2011.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Tantangan Dakwah
di Era Teknologi dan Informasi ADDIN, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014 .
Muchsin Effendi, Psi kologi Dakwah, Jakarta: Prenada
Setia, 2006.
Rafi’uddin, Maman Abdul Jalil, Prinsip dan Strategi Dakwah,
Bandung: Pustaka Setia, 2011.
https://paytren.online/
https://www.facebook.com/kh.muhammad.arifin.ilham/
https://www.facebook.com/kh.muhammad.arifin...
Website.Musthofawiyah.com
Tim
Peneliti balai Litbang Agama Makassar, Inventarisasi Karya Ulama Pesanteren, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010.
Muhammad
Natsir, Fiqh al Dakwah Dalam Majalah Islam, Jakarta: Kiblat, 1971.
[1]Muhammad Yunus,
Kamus Arab Indonesia, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Pentafsir al Quran, Cet.I, 1973), h. 278.
[2]Sayyid Qutub, Fi
Dzilali Al Quran (Beirut: Libanon, Ihyau Al Turats Al Araby, Cet.V.1967),
VI, h. 698.
[3] Tim Redaksi, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama Edisi IV, 2008), h. 1520
[4]Ibnu Katsir, Tafsir
Al Quran Al Azhim, (Mesir: Isa Al Halabi Wasirkahu, t.th), III,h..554.
[5] AlQuran dan
Terjemahan, digital.
[6]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian
Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati,
Cetakan Keempat, 2011, Volume 11), h. 63
[7]Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
[9] Ibid.
[10] Muchsin Effendi, Psi kologi Dakwah, (Jakarta:
Prenada Setia, 2006), h. 213
[11] Rafi’uddin, Maman Abdul Jalil, Prinsip dan Strategi
Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 53
[14] Ibid
[15] Ibid
[16]
https://paytren.online/
[17]
https://www.facebook.com/kh.muhammad.arifin.ilham/
[18] Ibid
[19]
https://www.facebook.com/kh.muhammad.arifin...
[20] Ibid.
[21] Al Quran
Digital
[22]Ibnul Qayyim
mengatakan hadits ini adalah hadits hasan dan “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris
para Nabi” menunjukkan betapa agungnya moralitas para ulama karena para Nabi
adalah sebaik-baik ciptaan Allah, sehingga pewaris mereka adalah sebaik-baik
manusia setelah mereka karena merekalah yang menyampaikan risalah para Nabi
(Miftahu Daris Sa’adah Juz 1/109)
[23]
Website.Musthofawiyah.com
[24] Ibid
[25] Ibid
[26] Ibid
[28] Tim Peneliti
balai Litbang Agama Makassar, Inventarisasi Karya Ulama Pesanteren, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
2010), h. 84.
[29] Ibid
[30] Tim Peneliti
balai Litbang Agama Makassar, Inventarisasi Karya Ulama.... h. 86.
[32] Ibid h.91.
[34] Muhammad Natsir, Fiqh al Dakwah
Dalam Majalah Islam, (Jakarta: Kiblat, 1971), h. 161.
[35] Ibid, h.
162
Tidak ada komentar:
Posting Komentar