PPP SUMUT BERGERAK BERSAMA RAKYAT--- Mau Dipublikasikan, Kami Harian_Indonesiapagi.Online Siap Hadir Untuk Anda. Terima Kasih. BUKTIKAN.....!---DIJUAL HP SECOND, MOBIL SECOND, DAN SEPEDA MOTOR SECOND MURAHHH....HUB:085837686014---MAU BERDISKUSI TENTANG JURNALIS, POLITIK DAN AGAMA HUBUNGI MAHASISWA S3 PPs UIN SUMUT SUASANA NIKMAT GINTING, MA DI NOMOR HP 081396100099---KESEHATAN ITU PALING UTAMA. JAGA KESEHATAN DENGAN MADU HITAM" SILAHKAN PASANG IKLAN BARIS ANDA DI SINI, HUB. Hp: 081396100099

Sabtu, 13 Oktober 2018

Pemikiran Pendidikan Menurut M. Abduh


Pemikiran Pendidikan Menurut M. Abduh

Oleh:
Ahmad Ibrahim Hasibuan



A. Pendahuluan

            Muhammad Abduh merupakan salah satu tokoh ulama Pemikiran yang berpengaruh luas di kalangan dunia Islam . Kapasitas keilmuan Muhammad Abduh dapat dijadikan standar keulamaan di tengah-tengah masyarakat. Posisinya sebagai seorang teologi, pemikir, pembaharu merupakan modal awal yang dijadikan pedoman bahwa dia dapat dikategorikan ulama teologi, ulama pemikir dan ulama pembaharu.
            Berbagai sebutan ulama di atas dapat melahirkan komentator yang pada kesimpulan akhirnya, mereka menyebutkan bahwa Muhammad Abduh diposisikan sebagai ulama modernis.
            Reformasi yang dibawa Muhammad Abduh mencakup semua hal diantaranya reformasi bidang agama dan moral. Ia berusaha menyadarkan prilaku umat Islam pada saat itu untuk kembali kepada ajaran Islam terdahulu yakni pada masa Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, serta menjauhkan prilaku dan pengaruh penyakit umat Islam pada masa itu seperti bid’ah, khurafat dan tahayul yang berkembang. Dalam politik Muhammad Abduh ingin berupaya melawan penjajahan dan menentang campur tangan pihak asing terhadap Mesir, bahkan Muhammad Abduh terlibat dalam beberapa gerakan yang ingin melakukan perubahan terhadap kehidupan politik pemerintah Mesir yang lebih baik.
            Dalam reformasi bidang pendidikan Muhammad Abduh sangat kritis terhadap sistem pendidikan yang tidak berkembang dan mengikuti tuntutan zaman, bahkan ketika belajar di Tanta Muhammad Abduh merasa bosan dan pergi meninggalkan Mesjid Ahmadi karena menekankan metode pemberian hafalan saja. Ia pulang ke kampung dan lebih memilih untuk bertani .
Tetapi kemudian Syekh Darwisy menyadarkan beliau untuk kembali berkecimpung ke dalam dunia akademisi, itu dibuktikannya dengan kembali belajar kali ini ke Al-Azhar. Dari sinilah berupa pengalaman dan wawasan beliau melahirkan beberapa pemikiran pendidikan yang akan dibahas di dalam makalah ini, dimulai dari pembahasan riwayat beliau semenjak dari kecil hingga akhir hayatnya. Kemudian situasi sosial keagaamaan dan politik serta konsep beliau tentang pendidikan Islam.
B. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan tahun 1849 M (1266 H) disalah satu desa di Delta sungai Nil Mesir bagian hilir. Ayahnya adalah seorang petani keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir, dan ibunya keturunan Arab yang memiliki hubungan darah dengan suku Arab asal keturunan khalifah Umar bin Khattab.[1]
Muhammad Abduh hidup berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain mengikuti ayahnya agar terhindar dari dari kejaran petugas pajak yang mencekik leher di masa Muhammad Ali Pasya . Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, kedua orang tuanya menetap di Mahallah Nasr setelah melanglang desa.[2]
Selaku anak dari keluarga yang taat beragama, mula-mula Muhammad Abduh diserahkan oleh orang tuanya untuk belajar mengaji al-Qur’an. Berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci al-Qur’an seluruhnya pada hal ketika itu ia masih berumur dua belas tahun.[3]
Ketika berumur tiga belas tahun, Muhammad Abduh dibawa ke Tanta untuk belajar di Mesjid Ahmadi. Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah Universitas al-Azhar. Di Mesjid ini ia belajar al-Qur’an dan disiplin-disiplin Islam klasik lainnya, dengan metode yang menekankan hapalan. Meski masih muda Muhammad Abduh menunjukkan sikap kritis dengan kondisi ini, yang dinilainya tidak bisa mengembangkan kreatifitas.[4]
Karena tak merasa bahagia, dia meninggalkan Masjid Tanta, dan bertekad untuk tidak kembali kepada kehidupan akademis. Pada usia enam belas tahun Muhammad Abduh menikah.[5]
Rasa cinta pada ilmu yang dimiliki orang tuanya, menyebabkan ia tidak setuju dengan langkah yang diambil Muhammad Abduh. Ia memerintahkan Muhammad Abduh agar kembali ke Mesjid Ahmadi di Tanta, belajar kembali seperti semula. Meskipun ia mengajukan berbagai alasan, namun sikap tegas orang tuanya tidak teratasinya, sehingga akhirnya perintah tersebut diturutinya. Di tengah perjalanan pulang, ia berbelok arah ke tempat lain, ke sebuah desa yang sudah dikenalnya, tempat tinggal salah seorang pamannya orang tuanya yang bernama Syekh Darwisy, penganut tarekat Syaziliah dan bermazhab Maliki.
Syekh Darwisy kelihatannya tidak hanya menerimanya sebagai seorang tamu, tetapi lebih dari itu, ia bersikap sebagai guru dan pembimbing yang dapat memahami konflik yang sedang dialami oleh Muhammad Abduh. Syekh Darwisy menjadi guru baginya yang membimbingnya dengan tekun untuk menumbuhkan kembali sikap cintanya terhadap ilmu dan mengarahkannya pada kehidupan sufi. Dengan semangat baru yang ditanamkan Syekh Darwisy padanya ia kembali ke Tanta pada akhir tahun 1286 H. Akan tetapi enam bulan kemudian ia kembali meninggalkan Tanta.[6]
Pada tahun 1866 M Muhammad Abduh meninggalkan keluarga dan istrinya menuju Kairo untuk belajar di al-Azhar. Harapannya yang besar akan belajar kembali dikecewakan ketika dia menghadapi sikap menonjolkan ilmu dan penghafalan di luar kepala tanpa memahami seperti yang ditemukannya di Tanta.[7]
Pada tahun 1869, datang ke Mesir seorang ‘alim besar yaitu Said Jamaluddin Al-Afgany yang terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujahid, Mujaddid dan Ulama besar. Ketika itu Muhammad Abduh sedang menjadi mahasiswa pada al-Azhar, dan ia bertemu dengan Said Jamaluddin Al-Afgani  untuk pertama kalinya. Ketika Muhammad Abduh datang ke rumahnya, bersama-sama dengan Syekh Hasan At-Tawil yang mana pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu tasauf dan tafsir.
Sejak itulah Muhammad Abduh tertarik kepada Said Jamaluddin Al-Afgani oleh ilmunya yang dalam dan cara berfikirnya yang modern. Sehingga akhirnya Muhammad Abduh mengaguminya benar-benar dan selalu di sampingnya. Selain Muhammad Abduh banyak pula mahasiswa-mahasiswa al-Azhar yang ditariknya ikut datang kepada Said Jamaluddin Al-Afgani untuk belajar. Di samping diskusi-diskusi tentang ilmu agama, mereka juga belajar kepada Said Jamaluddin pengetahuan-pengetahuan modern, filsafat, sejarah,  hukum dan ketata-negaraan. Suatu hal yang istimewa yang diberikan Said Jamaluddin kepada mereka adalah semangat berbakti kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik dan merombaknya dengan cara yang lebih maju.[8]
Metode pengajaran yang diterapkan Said Jamaluddin barangkali antara lain yang menyebabkan Muhammad Abduh lebih puas menerima ilmu-ilmu tersebut dari guru barunya itu. Dari Said Jamaluddin tidak saja ditemukannya metode pangajaran yang telah lama dicarinya, dan telah melepaskannya dari kegoncangan jiwa yang dialaminya. Agaknya itulah sebabnya mengapa ia selalu setia mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan gurunya itu, meskipun ia harus menghadapi tuduhan yang dilemparkan ulama-ulama al-Azhar terhadapnya.
Meskipun ia aktif mencari ilmu di luar al-Azhar, akan tetapi di al-Azhar sendiri ia tidak melalaikan tugasnya sebagai mahasiswa. Pada tahun 1877 M ia berhasil menyelesaikan studinya dengan mendapat gelar ‘Alim dan berhak mengajar di Universitas tersebut.[9]
Muhammad Abduh membuang habis-habisan sifat-sifat tasauf yang bersifat pantang dunia itu, lalu memasuki dunia aktivisme sosio-politik. Dia tak pernah pensiun dari dunia aktivisme seperti ini, kendatipun pada akhirnya harus menjauhkan diri dari revolusionisme Afgani, demi pendekatan yang lebih evolusioner dan damai.
Pada tahun 1878 M Muhammad Abduh mendapat tugas mengajar di perguruan tinggi Darul ‘Ulum yang baru saja didirikan. Dia memamfaatkan ini sebagai peluang untuk berbicara dan menulis soal politik, khususnya soal pendidikan nasional. Tahun berikutnya mentor Muhammad Abduh yaitu Said Jamaluddin al-Afgani diusir dari Mesir karena sikap politiknya yang keras.
Pada saat yang sama Muhammad Abduh diberhentikan dari jabatan mengajar di Darul ‘Ulum. Abduh segera diaktifkan kembali oleh perdana menteri dan diangkat menjadi salah satu editor, kemudian editor kepala pada al-Waqa’I al-Mishriyah sebuah koran resmi di Mesir. Dalam posisi itu, Abduh jadi sangat berpengaruh dalam membentuk pendapat umum.
Ketika Abduh semakin kritis terhadap metode dan tindakan pemimpin politik dan militer negeri ini, posisinya sangat terancam. Akhirnya dia terpaksa memilih antara sikap nasionalis dan kebijakan pro Inggiris Khedive. Abduh memilih yang pertama yaitu revolusi nasionalis pimpinan ‘Urabi Pasya, pilihan ini menyebabkan dirinya diasingkan dari Mesir selama tiga tahun yakni pada tahun 1882.
Ketika mencari perlindungan di Beirut dia menerima undangan dari para sahabat lamanya yaitu Said Jamaluddin al-Afgani untuk bergabung bersamanya di Paris. Di sana mereka mendirikan organisasi yang sangat berpengaruh meski usianya pendek yaitu al-‘Urwat al-Wutsqa (Mata rantai terkuat) dan menerbitkan majalah al-Manar. Tujuan organisasi ini adalah menyatukan umat Islam dan sekaligus melepaskan dari sebab-sebab perpecahan mereka.[10]
Pada tahun 1885 M Abduh balik lagi ke Beirut dan mengajarkan teologi di Madrasah Sulthaniyah. Ia kembali ke Mesir pada tahun1888 M, dan menjabat sebagai Mufti Agung Mesir pada tahun 1889 M, ketika Muhammad Abduh menjadi Mufti pengaruhnya tersebar ke Negara-negara Arab lainnya dan sejumlah gerakan yang sejenis dengannya tumbuh dan berkembang di berbagai penjuru dunia Islam seperti gerakan Aligarh di India dan Muhammadiyah di Indonesia.
Pada tahun 1894 Muhammad Abduh menjadi dewan majelis agung Universitas al-Azhar. Dan pada tahun 1897 ia menrbitkan karya tentang teologi dan hukum dengan judul Risalah at-Tauhid.[11]
Muhammad Abduh meninggal pada tanggal 11 Juli 1905. Banyaknya orang yang memberikan hormat di Kairo dan Aleksandria, membuktikan betapa besar penghormatan orang kepadanya.
Meskipun Muhammad Abduh mendapat serangan sengit karena tindakan dan pandangannya yang blak-blakan, terutama tahun-tahun terakhirnya, terasa ada pengakuan bahwa  Mesir dan Islam merasa kehilangan atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam spritualnya. Orang Islam datang berbondong-bondong untuk memberi penghormatan kepadanya sebagai sarjana, patriot dan agamawan.[12]
C. Situasi Agama Sosial Dan Politik Pada Era Muhammad Abduh
Ada sebuah degradasi yang sangat mencolok berkaitan dengan persoalan konteks pemahaman agamanya. Sejalan dengan bergulirnya waktu ternyata tampak sekali kekurangan dan kemunduran masyarakat dalam capaiannya untuk mengaktualisasikan prosesi pendidikan ke depan di tengah masyarakat. Pada masa Muhammad Abduh muncul berbagai penyimpangan pemahaman di tengah masyarakat seperti statis, taklid, bid’ah dan khurafat, juga tidak ketinggalan di Mesir
Situasi sosial keagamaan pada masa Muhammad Abduh secara umum adalah sikap umat Islam di Mesir dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari tidak jauh berbeda apa yang dialami umat Islam di dunia lainnya. Pemikiran yang statis, taklid, bid’ah dan khurafat menjadi ciri umat Islam di Mesir.
Persoalan yang lain yang muncul di permukaan agama kehilangan ruhnya dan tinggal simbol-simbol yang tidak bermakna. Bahwa cara untuk mendapatkan cita-cita bukan dengan usaha dan kerja keras tapi dengan dien-dien di kuburan.[13]
            Kondisi masyarakat memiliki  sejumlah potensi konflik horizontal. Peta sosial politik pada saat itu telah mengundang penderitaan rakyat, seperti kemiskinan sosial, kekayaan yang bertumpuk-tumpuk di tengah penguasa pada pejabat dan istana. Hal ini telah lazim penggunaannya dengan sebutan Iqtha.[14]
            Di samping itu sikap kerajaan yang mengambil sikap isolasi terhadap barat menambah ketinggalan dibidang bidang militer itulah sebabnya kenapa tentara Napoleon dengan ekspedisinya tanggal 12 juni 1978 dengan mudah menundukkan Mesir.[15]
            Menyusul keberadaan bangsa Perancis di Mesir merupakan sebuah cambuk dalam membuka peluang dan kesadaran rakyat Mesir dan para Ulamanya akan mengalami kemunduran yang mereka alami selama ini. Hal ini kemungkinan kedatangan Napoleon bukan hanya tujuan politik semata, melainkan juga misi ilmu pengetahuan. Pada masa Ali Pasya terutama dalam pemungutan pajak dan selalu dalam kesulitan yang terus menerus menimpa keluarga Abduh, akirnya mereka pindah untuk menghindarkan diri dari beban berat yang mereka pikul. Meskipun ada penilaian bahwa Ali Pasya merupakan salah satu yang berusaha mengejar ketertinggalan Mesir.[16]
            Di bidang politik Ali Pasya memerintah dengan tangan besi, tapi ketika Muhammad Abduh memasuki usia remaja Ali Paya telah wafat. Kedudukannya di gantikan Khedewi Abbas 1 (1848-1859) dan kemudian digantikan Muhammad Said (1863-1879). Ketika Muhammad Abduh memulai karirnya kekuasan berada di tangan Khedewi Isma’il (1863-1879) yang juga memerintah Mesir dengan diktator. Khedewi menjalankan pemerintahan atas kerja sama dengan kekuatan asing yaitu Inggiris dan Perancis.[17]
            Al-Azhar sendiri ketika itu menjadi lembaga pendidikan yang statis. Pelajaran dipusatkan pada fiqih, tafsir yang hanya mentransformasikan  buah pikiran lama yang dipelajari melalui syarah dan hasyiat kitab-kitab tertentu.[18]
            Ada beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh yaitu :


1.      Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya terutama Syekh Darwisy dan Said Jamaluddin. Di samping itu lingkungan Sekolah di Tanta dan Mesir tempat ia menemukan sistem pendidikan yang tidak efektif, serta pandangan keagaamaan yang statis.
2.      Faktor kebudayaan, berupa ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama belajar sekolah-sekolah formal, dari Said Jamaluddin serta pengalamannya dari barat.
3.      Faktor politik yang bersumber dari situasi politik pada masanya, sejak ia hidup dalam lingkungan keluarganya di Mahallat Nashr. Dari kezaliman yang dilakukan oleh para pegawai pada masa Muhammad Ali Pasya sampai gejolak-gejolak politik Mesir disebabkan oleh sistem pemerintahan yang absolut, politik rasialisme dan campur tangan asing.

Ketiga faktor inilah yang tampaknya melatar belakangi lahirnya pemikiran Muhammad Abduh dalam berbagai bidang teologi, syari’ah, sosial-politik dan pendidikan.[19]
            Setiap pemikir tentu memiliki kecenderungan untuk berada pada suatu kerangka pemikiran idiologis tertentu. Seseorang tidak berhak predikat pemikir jika tidak menganut aliran atau filsafat tertentu yang diyakini kebenarannya dan yang dimintai petunjuk untuk menjawab setiap pertanyaan yang terlontar di benak.
Referensi pemikiran Abduh adalah akidah Islam, ia meyebutkan bahwa salah satu karakteristik Mesir ialah beragama jadi setiap orang ingin mereformasi Mesir melalui jalan agama.[20]
            Pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh sendiri tentang kondisi umat Islam adalah sebagai berikut :


1.      Kemunduran umat Islam disebabkan karena kejumudan dikalangan umat Islam. Sikap ini menurutnya dimasukkan oleh orang-orang non-Arab yang ingin merampas puncak kekuasaan politik dalam dunia Islam.
2.      Masuknya berbagai bid’ah ke dalam Islam merupakan penyebab umat Islam melupakan ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk menghilangkan bid’ah umat Islam harus kembali ke ajaran Islam yang sejati.
3.      Ajaran Islam harus kembali dikembalikan kepada aslinya  dngan interprestasi yang disesuaikan dengan keadaan modern. Untuk itu pintu ijtihad perlu dibuka, dengan sendirinya taklid kepada pendapat ulama tidak dipertahankan.
4.      Manusia mempunyai kemampuan akal, menurutnya al-Qur’an bukan berbicara kepada hati manusia melainkan kepada akal manusia. Aql adalah pembantu utama manusia dalam bertindak, sedangkan naql adalh  sendi yang paling kokoh. Pemikiran akallah yang banyak menimbulkan ilmu pengetahuan.
5.      Kepercayaan kepada kemampuan akal membawanya kepada faham kebebasan berkehendak dan bertindak (Qadariyah). Ia setuju dengan analisa yang mengatakan bahwa umat Islam mundur karena faham Jabariyah.
6.      Ia sangat mementingkan pendidikan. Ia berusaha menambah kurikulum Al-Azhar, ilmu modern perlu dimasukkan dalam kurikulum, menurutnya modernisasi sistem pendidikan di Al-Azhar sangat pesat pengaruhnya dalam pembaharuan Islam.
7.      Sekolah-sekolah umum perlu diajarkan pendidikan agama Islam.[21]


D. Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh
            Muhammad Abduh seorang reformer garda depan terhadap kondisi masyarakat pada masanya. Pengaruh berbagai ide filosofisnya mampu mengantarkan sebuah dekonstruksi masyarakat seperti persoalan pendidikan. Pembaharuan pendidikan pernah dia lakukan di Universitas al-Azhar.[22]
Menurut pandangan Abduh kurikulum al-Azhar membutuhkan reformasi mendasar setidaknya melibatkan dua aspek: Pertama. Perlu mengganti buku-buku pegangan, kitab Syarh harus diganti dengan karya yang lebih awal dan orisinal seperti Muqaddimah, kajian Islam klasik yang terabaikan seperti etika, sejarah, geografi perlu diperkenalkan lagi.
Kedua, memasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum al-Azhar, ia juga menginginkan agar Al-Azhar lebih independen dari kontrol penguasa politik. Reformasi besar-besaran atas Al-Azhar terjadi tahun 1960an dan 1970an, karena beberapa pemimpin Al-Azhar belakangan adalah murid dan pengikut Abduh.[23]
Salah satu isu yang paling penting yang jadi perhatian Muhammad Abduh sepanjang hayatnya adalah pembaruan pendidikan. Baginya pendidikan itu penting sekali sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari. Yang jadi perhatiannya adalah mencari alternatif untuk keluar dari stagnasi yang dihadapinya sendiri di sekolah agama Mesir yang tercerminkan dengan baik sekali dalam pendidikan di al-Azhar.
Untuk lebih jelasnya tentang pemikiran pendidikan Muhammad Abduh dapat dilihat di bawah ini:

1.      Tujuan pendidikan
Menurut Muhammad Abduh adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat Dari rumusan tujuan pendidikan yang demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan luas mencakup aspek akal (kognitif), dan aspek spiritual (apektif). Dengan tujuan yang demikian ia pula menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai sruktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal saja tetapi juga perkembangan social.[24]

2.      Metode pendidikan Muhammad Abduh
Dalam bidang metode pengajaran ia pun membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu. Ia mengiritik dengan tajam penerapan metode hafalan tanpa pengertian yang umumnya dipraktekkan di sekolah-sekolah saat itu, terutama sekolah-sekolah agama. Pada saat mengajar di al-Azhar Abduh memakai metode diskusi, ia menekankan pentingnya pemberian pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan bukan hanya mengajar dengan memberi hafalan saja. Karena metode hafalan bias merusak daya nalar.[25]
Muhammad Abduh mengubah cara memperoleh ilmu dari metode hapalan  dengan metode rasional dan pemahaman. Siswa di samping menghapal sesuatu juga harus memahami tentang materi yang dihapalnya. Ia juga menghidupkan kembali metode Munazharah dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid buta terhadap para ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan mahasiswa Al-Azhar.[26]

3.      Sarana
Pembaharuan yang dilakukan Abduh tidak hanya menyangkut sistem pengajaran, seperti metode, kurikulum tetapi juga mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasiswa, perpustakaan dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa.[27]

4.      Kurikulum
            Adapun rincian kurikulum yang dirumuskan oleh Muhammad Abduh dapat dipaparkan sebagai berikut:
  1. Tingkat Sekolah Dasar

a.       Membaca
b.      Menulis
c.       Berhitung
d.      Pelajaran Agama dengan bahan-bahan; akidah menurut Ahli-Sunnah, serta fiqih dan akhlak yang berkaitan dengan halal haram, perbuatan-perbuatan bid’ah serta bahayanya dalam masyarakat. Pelajaran ahklak mencakup perbuatan dan sifat yang baik dan buruk.
e.       Sejarah yang mencakup sejarah Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya ditambah dengan uraian-uraian tentang khalifah ar-Rasyidin, yang semuanya diberikan secara ringkas.[28]

2.      Tingkat Menengah

a.       Manthiq atau logika dan dasar-dasar penalaran
b.      Akidah yang dikemukakan dengan pembuktian akal dan dalil-alil yang pasti. Pada tingkat ini pelajaran yang diberikan belum menjangkau perbedaan pendapat. Di amping itu dijelaskan fungsi aqidah dalam kehidupan.
c.       Fiqih dan akhlak. Pada tingkat ini pelajaran fiqih dan akhlak hanya memperluas bahan yang diberikan pada tingkat dasar. Pelajaran ini ditekankan pada sebab, kegunaan dan pengaruh terutama dalam maslah akhlak. Pelajaran fiqih lebih ditekankan pada hokum-hukum agama dan kegunaannya dalam kehidupan masyarakat.
d.      Sejarah Islam. Yang menyangkut sejarah Nabi, sahabat dan penaklukan-penaklukan yang terjadi dalam beberapa abad sampai pada masa penaklukan .

3.      Tingkat Atas

Pelajaran agama di tingkat ini adalh untuk golongan mereka yang akan jadi pendidik yang disebutnya sebagai golongan yang arif (‘Urafa’ al-Ummat) pelajaran yang diberikan kepada mereka adalah:
a.       Tafsir
b.      Hadis
c.       Bahasa Arab
d.      Akhlak dengan pembahasan yang terinci sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum al-Din.
e.       Ushul fiqih
f.       Sejarah yang termasuk di dalamnya sejarah Nabi dan sahabatnya. Sejarah peralihan penguasa Islam, sejarah kerajaan-kerajaan Islam pada masa jatuhnya ke tangan penguasa lain dengan menerangkan sebabsebabnya.
g.      Retorika dan dasar-dasar berdiskusi
h.      Ilmu kalam. Pada tingkat ini ilmu kalam diberikan dengan menerangkan aliran-aliran yang terdapat dalam ilmu kalam dengan menjelaskan dalil-dalil yang menopang aliran tersebut. Pada tingkat ini pelajaran ilmu kalam tidak untuk memperteguh akidah, tetapi untuk memeperluas cakrawala pemikiran.[29]

Ketiga paket kurikulum di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama yang berikan dalam setiap tingkat. Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak memasukkan ilmu-ilmu barat ke dalam kurikulum yang direncanakan. Menurutnya ilmu-ilmu tersebut seperti ilmu pasti, ilmu bahasa, ilmu sosial dan sebagainya dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu dalam kurikulum yang dikemukakan di atas. Ia tidak tidak merincinya karena masing-masing sekolah atau jurusan mempunyai pandangan sendiri tentang ilmu apa yang lebih ditekankan untuk dipelajari. Dengan demikian dalam bidang pendidikan formal  Muhammad Abduh menekankan pemberian pengetahuan yang pokok, yaitu akidah, fiqih, sejarah dan akhlak serta bahasa.[30]

5.      Anak didik
Abduh memperjuangkan pendidikan yang universal bagi semua anak baik laki-laki maupun wanita. Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapat pendidikan minimum agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka.[31] Pemikiran Abduh tentang pendidikan wanita sangat besar pengaruhnya. Menurutnya wanita haruslah mendapat pendidikan yang sama dengan laki-laki. Lelaki dan wanita mendapat hak yang sama dari Allah. Wanita haruslah dilepaskan dari rantai kebodohan.[32]

6.      Sistem Pendidikan
Situasi lain yang memunculkan pemikiran pendidikan Muhammad Abduh adalah sistem pendidikan yang ada pada saat itu yaitu  dua tipe pendidikan. Tipe pertama adalah sekolah-sekolah agama dengan Al-Azhar sebagai lembaga pendidikan tertinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern yang dibangun oleh pemerintah maupun oleh bangsa asing. Kedua tipe tersebut tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lain, masing-masing berdiri sendiri dan memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikan.[33]
Akibat terjadi dualisme pendidikan melahirkan kelas social dengan spirit yang berbeda. Tipe pertama memproduksi para ulama serta tokoh masyarakat enggan menerima perubahan cenderung untuk mempertahakan tradisi. Tipe yang kedua melahirkan kelas elite generasi muda dengan ilmu-ilmu barat yang mereka peroleh. Muhammad Abduh melihat segi negative dari kedua pemikiran, ia memandang bahwa pemikiran yang pertama tidak dapat dipertahankan lagi. Sedangkan pemikiran kedua ia melihat bahaya yang mengancam sendi agama dan moral. Dari itulah Muhammad Abduh melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua institusi tersebut sehingga jurang yang terbuka lebar dapat dipersempit. Situasi yang demikian melahirkan pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang formal dan nonformal. Dalam bidang formal tujuannya yang esensi adalah menghapus dualisme pendidikan.[34]
Selanjutnya pendidikan nonformal menurut Muhammad Abduh adalah sebagai ishlah (usaha perbaikan). Dalam penyelenggaraan pendidikan ini ia melihat perlunya campur tangan pemerintah, terutama dalam mempersiapkan para pendakwah.
Muhammad Abduh menekankan mereka dari golongan yang terdidik telah mendapat pendidikan dengan kurikulum pendidik tingkat atas. Tugas mereka yang terutama adalah ; menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar, mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau belum mereka ketahui, meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada Negara, tanah air dan pemimpin.
Di luar pendidikan formal menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari ilmu-ilmu yang datang dari dari barat. Pendidikan akal menurutnya tidak hanya berlangsung dalam lembaga pendidikan formal tetapi juga di luar yaitu, melalui pengamatan terhadap dan gejala alam.[35]


E. Kritik Muhammad Abduh Terhadap Pendidikan Mesir
            Seorang pemikir adalah hati umat, biasanya hati selalu melakukan kontemplasi dan penelaahan terhadap setiap peristiwa untuk kemudian menimbangnya dengan kemaslahatan dan masa depan yang seharusnya dicapai. Semua ini termasuk kerja-kerja cabang bagi suatu kerja utama; yaitu kritik.
            Kritik Abduh diantaranya adalah sebagian sekolah-sekolah tingkat dasar baik negeri maupun swasta tidak berupaya sekuat  tenaga untuk memasukkan kaedah-kaedah dasar Islam ke dalam kurikulum pendidikan atau buku-buku yang dikhususkan untuk itu.
Meskipun perundangan-undangan  sudah menyebutkan bahwa sekolah-sekolah tingkat dasar harus memperhatikan secara serius pendidikan kaedah-kaedah dasar Islam bagi para anak-anak muslim. Kritiknya juga mengenai beberapa sekolah negeri maupun swasta tidak menyediakan tempat khusus untuk solat.[36]
            Kritik Abduh selanjutnya adalah bahwa pendidikan hanya dilakukan dengan satu metode pendiktean saja , satu metode yang tidak membantu pembentukan pemikiran yang inklusif dan rasionalistas yang toleran.. Selanjutnya kritiknya ditujukan kepada para tenaga pendidik yang tidak mengetahui apapun kecuali hafal al-Qur’an saja.[37]
            Abduh juga mengungkpakan sebuah fenomena yang telah menimbulkan gejolak social, kebudayaan, dan keagamaan yang begitu dahsyat di Mesir bertahun-tahun. Fenomena yang tak lain adalah sekolah khusus yang tersebar di seluruh penjuru Mesir yang didirikan untuk memuluskan misi keagamaan orang barat. Terdapat sekolah-sekolah khusus kaum Kristen, Protestan, sementara anak didik yang belajar di sekolah itu tidak hanya berasal dari satu agama saja.
 Satu hal yang mendatangkan pengaruh besar ketika pendidikan keagamaan dilakukan kepada anak didik. Akhirnya anak didik Protestan beralih menganut agama Kristen Katolik, anak didik muslim tiba-tiba pulang ke rumah dan menyatakan bahwa dirinya telah memeluk agama Kristen.[38]      
E. Karya-karya Muhammad Abduh
Muhammad Abduh memiliki signifikasi pengaruh besar terhadap ulama-ulama Al-Azhar khususnya para ulama atau calon para ulama institusi Al-Azhar Abduh sebagai ulama pendidikan dengan melalui berbagai karyanya.
            Adapun karya-karya Muhammad Abduh adalah sebagai berikut : 1, Tafsir al-Manar (berkecendurungan rasionalistik), 2, Tafsir Juz ‘Amma (sejalam dengan mazhab Syafi’i), 3, Durus Min Al-Qur’an (pelajaran-pelajaran al-Qur’an), 4, Risalah Tauhid (ilmu kalam), 5, Syarh Nahj al-Balaghah (berisikan tentang sya’ir-sya’ir sahabat Ali bin Abi Thalib), 6, Hasyiyah ‘ala Syarh al-Dawwami bi al-Aqaid al-‘Adudiya (komentar terhadap penjelasan al-Dawwami terhadap aqidah yang meleset), 7, Al-Islam wa Nasraniyah Ma’had ma’al-‘Ilmi al-Madaniyah (Islam dan Nasrani bersama ilmu-ilmu peradaban), 8, Syarh Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamdani (penjelasan tingkatan-tingkatan masa keemasan), 9, Syarh al-Basyir al-Nasriyah Fi ‘Ilm al-Mantiq (logika), 10, Taqrir Fi al-Ishlah al-Mahakim al Syar’iyyah (tentang hokum-hukum Islam), 11, Wadatul Wujud (Ilmu Tasauf), 12, Tarikh Isma’il Pasya (Sejarah), 13, Filasafat Wa al-Ijtima’I al-Tarikh (Filsafat Sosial), 14, Nizam al-Tarbiyah al-Misriyah (Pendidikan), 15, Tarikh Asbah al-Tsurah al-‘Arabiyah (Sejarah), 16, Risalah al-Waridah (Teologi).
            Selain tertuang pada sejumlah karya di atas dia juga aktif menyumbangkan gagasannya lewat berbagai majalah dan surta kabar seperti Al-Ahram di Paris, Al-Waqaid al-Misriyah di Mesir, Al-Muayyad dan Al-Urwatul Wutsqa serta Al-Manar di Mesir.
            Gagasan pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh ini ternyata juga diikuti oleh para muridnya setianya yaitu Muhammad Rasyid ridho dan generasi setelahnya seperti Qosim Amin, Ali Abdur Raziq, Muhammad Kurd, Thaha Husein.[39]




F. Kesimpulan
Muhammad Abduh dilahirkan tahun 1849 M (1266 H) disalah satu desa di Delta sungai Nil Mesir bagian hilir. Selaku anak dari keluarga yang taat beragama, mula-mula Muhammad Abduh diserahkan oleh orang tuanya untuk belajar mengaji al-Qur’an. Berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci al-Qur’an seluruhnya pada hal ketika itu ia masih berumur dua belas tahun. Ketika berumur tiga belas tahun, Muhammad Abduh dibawa ke Tanta untuk belajar di Mesjid Ahmadi.
Ada beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh yaitu : Pertama. Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya terutama Syekh Darwisy dan Said Jamaluddin. Di samping itu lingkungan Sekolah di Tanta dan Mesir tempat ia menemukan sistem pendidikan yang tidak efektif, serta pandangan keagaamaan yang statis.
Kedua. Faktor kebudayaan, berupa ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama belajar sekolah-sekolah formal, dari Said Jamaluddin serta pengalamannya dari barat. Ketiga Faktor politik yang bersumber dari situasi politik pada masanya, sejak ia hidup dalam lingkungan keluarganya di Mahallat Nashr. Dari kezaliman yang dilakukan oleh para pegawai pada masa Muhammad Ali Pasya sampai gejolak-gejolak politik Mesir disebabkan oleh sistem pemerintahan yang absolut, politik rasialisme dan campur tangan asing.
Salah satu isu yang paling penting yang jadi perhatian Muhammad Abduh sepanjang hayatnya adalah pembaruan pendidikan. Muhammad Abduh membagi pendidikan ke dalam dua bidang yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal diarahkan kepada tiga hal yaitu kurikulum, metode pengajaran dan pemberian pendidikan terhadap wanita. Selanjutnya pendidikan nonformal menurut Muhammad Abduh adalah sebagai ishlah (usaha perbaikan). Dalam penyelenggaraan pendidikan ini ia melihat perlunya campur tangan pemerintah, terutama dalam mempersiapkan para pendakwah.




DAFTAR  PUSTAKA

Abduh Muhammad, Risalah Tauhid, terj Firdaus, Cet ke VII, Jakarta: Bulan Bintang, 1979

Ali Said Ismail, Pelopor Pendidikan Islam Paling berpengaruh, Terj Muhammad Zainal Arifin, Cet ke I, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Asari Hasan, Modernisasi Islam, Bandung: Cita Pustaka Media, 2007.
Fadhil SJ, Pasang Surut Perdaban Islam Dalam Lintasan Sejarah, Cet ke I, Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008.

Glasse Cyril, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Lubis Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah Dan Muhammad Abduh, Cet ke I, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Malik Ibrahim Maulana, Pendidikan Islam, Cet ke I, Malang: UIN Malang Press, 2009.

Mufrodi Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Nasution Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press, 1987.

Rahmena Ali (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj Ilyas Hasan, Cet ke II, Bandung:  Mizan, 1996.

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam  di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005.

Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Cet ke III, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999.













[1] Usman, Filsafat Pendidikan Islam, Cet ke III, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999), hlm. 153
[2] Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 159
[3] Abduh, Risalah Tauhid, Terj Firdaus, Cet ke VII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 17
[4] Asari, Modernisasi Islam, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2007), hlm. 70
[5] Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Terj Ilyas Hasan, Cet ke II, (Bandung:  Mizan, 1996), hlm. 37
[6] Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Cet keI, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 113
[7] Rahmena (ed), Para …………………………………, hlm. 37
[8] Abduh, Risalah ……………………………… hlm.17-18
[9] Lubis, Pemikiran …………………………….. hlm. 114 -115
[10] Rahmena, (ed), Para …………………………………………….. hlm. 38-39
[11] Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 6
[12] Rahmena, (ed), Para………………………………………………... hlm. 39-40
[13] Malik, Pendidikan Islam, cet ke I, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 352
[14] Ibid, hlm. 350
[15] Lubis, Pemikiran ……………………………………. hlm. 121
[16] Malik, Pendidikan ……………………...hlm. 350-351
[17] Lubis, Pemikiran ……………………… hlm. 122
[18] Ibid, hlm. 120
[19] Ibid, hlm. 124
[20] Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling berpengaruh, Terj Muhammad Zainal Arifin, Cet ke I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 140
[21] Fadhil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam Dalam Lintasan Sejarah, cet ke I, (Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008), hlm. 254-255
[22] Malik, Pendidikan …………………hlm. 358
[23] Asari, Modernisasi ………………...hlm. 79
[24] Lubis, Pemikiran …………………………………….. hlm. 156
[25] Ibid, hlm. 160
[26] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam  di Dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm 48
[27] Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), hlm. 20
[28] Nasution, Muhammad ……………………………………hlm. 743
[29] Lubis, Pemikiran …………………………………….. hlm. 158
[30] Ibid, hlm. 159
[31] Ibid, hlm. 59
[32] Ibid, hlm. 160
[33] Ibib, hlm. 154
[34] Ibid, hlm. 155-156
[35] Ibid, hlm. 161
[36] Ali, Pelopor ……………………………………….. hlm. 150
[37] Ibid, hlm. 152
[38] Ibid, hlm. 158
[39]  Malik, Pendidikan………………………. hlm. 363