Pemikiran
Pendidikan Menurut M. Abduh
Oleh:
Ahmad Ibrahim Hasibuan
A. Pendahuluan
Muhammad Abduh merupakan salah satu
tokoh ulama Pemikiran yang berpengaruh luas di kalangan dunia Islam . Kapasitas
keilmuan Muhammad Abduh dapat dijadikan standar keulamaan di tengah-tengah
masyarakat. Posisinya sebagai seorang teologi, pemikir, pembaharu merupakan
modal awal yang dijadikan pedoman bahwa dia dapat dikategorikan ulama teologi,
ulama pemikir dan ulama pembaharu.
Berbagai sebutan ulama di atas dapat
melahirkan komentator yang pada kesimpulan akhirnya, mereka menyebutkan bahwa
Muhammad Abduh diposisikan sebagai ulama modernis.
Reformasi yang dibawa Muhammad Abduh
mencakup semua hal diantaranya reformasi bidang agama dan moral. Ia berusaha
menyadarkan prilaku umat Islam pada saat itu untuk kembali kepada ajaran Islam
terdahulu yakni pada masa Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, serta menjauhkan
prilaku dan pengaruh penyakit umat Islam pada masa itu seperti bid’ah, khurafat
dan tahayul yang berkembang. Dalam politik Muhammad Abduh ingin berupaya
melawan penjajahan dan menentang campur tangan pihak asing terhadap Mesir,
bahkan Muhammad Abduh terlibat dalam beberapa gerakan yang ingin melakukan
perubahan terhadap kehidupan politik pemerintah Mesir yang lebih baik.
Dalam reformasi bidang pendidikan
Muhammad Abduh sangat kritis terhadap sistem pendidikan yang tidak berkembang
dan mengikuti tuntutan zaman, bahkan ketika belajar di Tanta Muhammad Abduh
merasa bosan dan pergi meninggalkan Mesjid Ahmadi karena menekankan metode pemberian
hafalan saja. Ia pulang ke kampung dan lebih memilih untuk bertani .
Tetapi
kemudian Syekh Darwisy menyadarkan beliau untuk kembali berkecimpung ke dalam
dunia akademisi, itu dibuktikannya dengan kembali belajar kali ini ke Al-Azhar.
Dari sinilah berupa pengalaman dan wawasan beliau melahirkan beberapa pemikiran
pendidikan yang akan dibahas di dalam makalah ini, dimulai dari pembahasan
riwayat beliau semenjak dari kecil hingga akhir hayatnya. Kemudian situasi sosial
keagaamaan dan politik serta konsep beliau tentang pendidikan Islam.
B. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh dilahirkan tahun 1849 M (1266 H) disalah satu desa di Delta sungai Nil
Mesir bagian hilir. Ayahnya adalah seorang petani keturunan Turki yang telah
lama menetap di Mesir, dan ibunya keturunan Arab yang memiliki hubungan darah
dengan suku Arab asal keturunan khalifah Umar bin Khattab.[1]
Muhammad
Abduh hidup berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain mengikuti ayahnya agar
terhindar dari dari kejaran petugas pajak yang mencekik leher di masa Muhammad
Ali Pasya . Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, kedua orang tuanya menetap
di Mahallah Nasr setelah melanglang desa.[2]
Selaku
anak dari keluarga yang taat beragama, mula-mula Muhammad Abduh diserahkan oleh
orang tuanya untuk belajar mengaji al-Qur’an. Berkat otaknya yang cemerlang
maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci al-Qur’an seluruhnya pada
hal ketika itu ia masih berumur dua belas tahun.[3]
Ketika
berumur tiga belas tahun, Muhammad Abduh dibawa ke Tanta untuk belajar di Mesjid Ahmadi. Masjid
ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah Universitas al-Azhar. Di Mesjid ini
ia belajar al-Qur’an dan disiplin-disiplin Islam klasik lainnya, dengan metode
yang menekankan hapalan. Meski masih muda Muhammad Abduh menunjukkan sikap
kritis dengan kondisi ini, yang dinilainya tidak bisa mengembangkan kreatifitas.[4]
Karena
tak merasa bahagia, dia meninggalkan Masjid Tanta, dan bertekad untuk tidak
kembali kepada kehidupan akademis. Pada usia enam belas tahun Muhammad Abduh
menikah.[5]
Rasa
cinta pada ilmu yang dimiliki orang tuanya, menyebabkan ia tidak setuju dengan
langkah yang diambil Muhammad Abduh. Ia memerintahkan Muhammad Abduh agar
kembali ke Mesjid Ahmadi di Tanta, belajar kembali seperti semula. Meskipun ia
mengajukan berbagai alasan, namun sikap tegas orang tuanya tidak teratasinya,
sehingga akhirnya perintah tersebut diturutinya. Di tengah perjalanan pulang,
ia berbelok arah ke tempat lain, ke sebuah desa yang sudah dikenalnya, tempat
tinggal salah seorang pamannya orang tuanya yang bernama Syekh Darwisy,
penganut tarekat Syaziliah dan bermazhab Maliki.
Syekh
Darwisy kelihatannya tidak hanya menerimanya sebagai seorang tamu, tetapi lebih
dari itu, ia bersikap sebagai guru dan pembimbing yang dapat memahami konflik yang
sedang dialami oleh Muhammad Abduh. Syekh Darwisy menjadi guru baginya yang
membimbingnya dengan tekun untuk menumbuhkan kembali sikap cintanya terhadap
ilmu dan mengarahkannya pada kehidupan sufi. Dengan semangat baru yang
ditanamkan Syekh Darwisy padanya ia kembali ke Tanta
pada akhir tahun 1286 H. Akan tetapi enam bulan kemudian ia kembali
meninggalkan Tanta.[6]
Pada
tahun 1866 M Muhammad Abduh meninggalkan keluarga dan istrinya menuju Kairo
untuk belajar di al-Azhar. Harapannya yang besar akan belajar kembali
dikecewakan ketika dia menghadapi sikap menonjolkan ilmu dan penghafalan di
luar kepala tanpa memahami seperti yang ditemukannya di Tanta.[7]
Pada
tahun 1869, datang ke Mesir seorang ‘alim besar yaitu Said Jamaluddin Al-Afgany
yang terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujahid, Mujaddid dan Ulama besar.
Ketika itu Muhammad Abduh sedang menjadi mahasiswa pada al-Azhar, dan ia bertemu
dengan Said Jamaluddin Al-Afgani untuk
pertama kalinya. Ketika Muhammad Abduh datang ke rumahnya, bersama-sama dengan
Syekh Hasan At-Tawil yang mana pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu
tasauf dan tafsir.
Sejak
itulah Muhammad Abduh tertarik kepada Said Jamaluddin Al-Afgani oleh ilmunya
yang dalam dan cara berfikirnya yang modern. Sehingga akhirnya Muhammad Abduh
mengaguminya benar-benar dan selalu di sampingnya. Selain Muhammad Abduh banyak
pula mahasiswa-mahasiswa al-Azhar yang ditariknya ikut datang kepada Said
Jamaluddin Al-Afgani untuk belajar. Di samping diskusi-diskusi tentang ilmu
agama, mereka juga belajar kepada Said Jamaluddin pengetahuan-pengetahuan
modern, filsafat, sejarah, hukum dan
ketata-negaraan. Suatu hal yang istimewa yang diberikan Said Jamaluddin kepada
mereka adalah semangat berbakti kepada masyarakat dan berjihad memutus
rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik dan merombaknya
dengan cara yang lebih maju.[8]
Metode
pengajaran yang diterapkan Said Jamaluddin barangkali antara lain yang
menyebabkan Muhammad Abduh lebih puas menerima ilmu-ilmu tersebut dari guru
barunya itu. Dari Said Jamaluddin tidak saja ditemukannya metode pangajaran
yang telah lama dicarinya, dan telah melepaskannya dari kegoncangan jiwa yang
dialaminya. Agaknya itulah sebabnya mengapa ia selalu setia mengikuti
kuliah-kuliah yang diberikan gurunya itu, meskipun ia harus menghadapi tuduhan
yang dilemparkan ulama-ulama al-Azhar terhadapnya.
Meskipun
ia aktif mencari ilmu di luar al-Azhar, akan tetapi di al-Azhar sendiri ia
tidak melalaikan tugasnya sebagai mahasiswa. Pada tahun 1877 M ia berhasil
menyelesaikan studinya dengan mendapat gelar ‘Alim dan berhak mengajar di
Universitas tersebut.[9]
Muhammad
Abduh membuang habis-habisan sifat-sifat tasauf yang bersifat pantang dunia itu,
lalu memasuki dunia aktivisme sosio-politik. Dia tak pernah pensiun dari dunia
aktivisme seperti ini, kendatipun pada akhirnya harus menjauhkan diri dari
revolusionisme Afgani, demi pendekatan yang lebih evolusioner dan damai.
Pada
tahun 1878 M Muhammad Abduh mendapat tugas mengajar di perguruan tinggi Darul
‘Ulum yang baru saja didirikan. Dia memamfaatkan ini sebagai peluang untuk
berbicara dan menulis soal politik, khususnya soal pendidikan nasional. Tahun
berikutnya mentor Muhammad Abduh yaitu Said Jamaluddin al-Afgani diusir dari
Mesir karena sikap politiknya yang keras.
Pada
saat yang sama Muhammad Abduh diberhentikan dari jabatan mengajar di Darul
‘Ulum. Abduh segera diaktifkan kembali oleh perdana menteri dan diangkat
menjadi salah satu editor, kemudian editor kepala pada al-Waqa’I al-Mishriyah sebuah koran resmi di Mesir. Dalam posisi
itu, Abduh jadi sangat berpengaruh dalam membentuk pendapat umum.
Ketika
Abduh semakin kritis terhadap metode dan tindakan pemimpin politik dan militer
negeri ini, posisinya sangat terancam. Akhirnya dia terpaksa memilih antara
sikap nasionalis dan kebijakan pro Inggiris Khedive. Abduh memilih yang pertama
yaitu revolusi nasionalis pimpinan ‘Urabi Pasya, pilihan ini menyebabkan
dirinya diasingkan dari Mesir selama tiga tahun yakni pada tahun 1882.
Ketika
mencari perlindungan di Beirut
dia menerima undangan dari para sahabat lamanya yaitu Said Jamaluddin al-Afgani
untuk bergabung bersamanya di Paris. Di sana
mereka mendirikan organisasi yang sangat berpengaruh meski usianya pendek yaitu
al-‘Urwat al-Wutsqa (Mata rantai
terkuat) dan menerbitkan majalah al-Manar. Tujuan organisasi ini adalah
menyatukan umat Islam dan sekaligus melepaskan dari sebab-sebab perpecahan
mereka.[10]
Pada
tahun 1885 M Abduh balik lagi ke Beirut
dan mengajarkan teologi di Madrasah Sulthaniyah. Ia kembali ke Mesir pada
tahun1888 M, dan menjabat sebagai Mufti Agung Mesir pada tahun 1889 M, ketika
Muhammad Abduh menjadi Mufti pengaruhnya tersebar ke Negara-negara Arab lainnya
dan sejumlah gerakan yang sejenis dengannya tumbuh dan berkembang di berbagai
penjuru dunia Islam seperti gerakan Aligarh di India dan Muhammadiyah di
Indonesia.
Pada
tahun 1894 Muhammad Abduh menjadi dewan majelis agung Universitas al-Azhar. Dan
pada tahun 1897 ia menrbitkan karya tentang teologi dan hukum dengan judul Risalah at-Tauhid.[11]
Muhammad
Abduh meninggal pada tanggal 11 Juli 1905. Banyaknya orang yang memberikan
hormat di Kairo dan Aleksandria, membuktikan betapa besar penghormatan orang
kepadanya.
Meskipun
Muhammad Abduh mendapat serangan sengit karena tindakan dan pandangannya yang
blak-blakan, terutama tahun-tahun terakhirnya, terasa ada pengakuan bahwa Mesir dan Islam merasa kehilangan atas
meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam
spritualnya. Orang Islam datang berbondong-bondong untuk memberi penghormatan
kepadanya sebagai sarjana, patriot dan agamawan.[12]
C. Situasi Agama Sosial Dan Politik Pada Era Muhammad Abduh
Ada sebuah degradasi yang
sangat mencolok berkaitan dengan persoalan konteks pemahaman agamanya. Sejalan
dengan bergulirnya waktu ternyata tampak sekali kekurangan dan kemunduran
masyarakat dalam capaiannya untuk mengaktualisasikan prosesi pendidikan ke
depan di tengah masyarakat. Pada masa Muhammad Abduh muncul berbagai
penyimpangan pemahaman di tengah masyarakat seperti statis, taklid, bid’ah dan
khurafat, juga tidak ketinggalan di Mesir
Situasi
sosial keagamaan pada masa Muhammad Abduh secara umum adalah sikap umat Islam
di Mesir dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka
sehari-hari tidak jauh berbeda apa yang dialami umat Islam di dunia lainnya.
Pemikiran yang statis, taklid, bid’ah dan khurafat menjadi ciri umat Islam di
Mesir.
Persoalan
yang lain yang muncul di permukaan agama kehilangan ruhnya dan tinggal
simbol-simbol yang tidak bermakna. Bahwa cara untuk mendapatkan cita-cita bukan
dengan usaha dan kerja keras tapi dengan dien-dien di kuburan.[13]
Kondisi masyarakat memiliki sejumlah potensi konflik horizontal. Peta
sosial politik pada saat itu telah mengundang penderitaan rakyat, seperti
kemiskinan sosial, kekayaan yang bertumpuk-tumpuk di tengah penguasa pada
pejabat dan istana. Hal ini telah lazim penggunaannya dengan sebutan Iqtha.[14]
Di samping itu sikap kerajaan yang
mengambil sikap isolasi terhadap barat menambah ketinggalan dibidang bidang
militer itulah sebabnya kenapa tentara Napoleon dengan ekspedisinya tanggal 12
juni 1978 dengan mudah menundukkan Mesir.[15]
Menyusul keberadaan bangsa Perancis
di Mesir merupakan sebuah cambuk dalam membuka peluang dan kesadaran rakyat
Mesir dan para Ulamanya akan mengalami kemunduran yang mereka alami selama ini.
Hal ini kemungkinan kedatangan Napoleon bukan hanya tujuan politik semata,
melainkan juga misi ilmu pengetahuan. Pada masa Ali Pasya terutama dalam
pemungutan pajak dan selalu dalam kesulitan yang terus menerus menimpa keluarga
Abduh, akirnya mereka pindah untuk menghindarkan diri dari beban berat yang
mereka pikul. Meskipun ada penilaian bahwa Ali Pasya merupakan salah satu yang
berusaha mengejar ketertinggalan Mesir.[16]
Di bidang politik Ali Pasya
memerintah dengan tangan besi, tapi ketika Muhammad Abduh memasuki usia remaja
Ali Paya telah wafat. Kedudukannya di gantikan Khedewi Abbas 1 (1848-1859) dan
kemudian digantikan Muhammad Said (1863-1879). Ketika Muhammad Abduh memulai
karirnya kekuasan berada di tangan Khedewi Isma’il (1863-1879) yang juga
memerintah Mesir dengan diktator. Khedewi menjalankan pemerintahan atas kerja
sama dengan kekuatan asing yaitu Inggiris dan Perancis.[17]
Al-Azhar sendiri ketika itu menjadi
lembaga pendidikan yang statis. Pelajaran dipusatkan pada fiqih, tafsir yang
hanya mentransformasikan buah pikiran
lama yang dipelajari melalui syarah
dan hasyiat kitab-kitab tertentu.[18]
Ada beberapa faktor yang
dianggap mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh yaitu :
1.
Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh
keluarga dan gurunya terutama Syekh Darwisy dan Said Jamaluddin. Di samping itu
lingkungan Sekolah di Tanta dan Mesir tempat ia menemukan sistem pendidikan
yang tidak efektif, serta pandangan keagaamaan yang statis.
2.
Faktor kebudayaan, berupa ilmu pengetahuan yang diperolehnya
selama belajar sekolah-sekolah formal, dari Said Jamaluddin serta pengalamannya
dari barat.
3.
Faktor politik yang bersumber dari situasi politik pada
masanya, sejak ia hidup dalam lingkungan keluarganya di Mahallat Nashr. Dari
kezaliman yang dilakukan oleh para pegawai pada masa Muhammad Ali Pasya sampai
gejolak-gejolak politik Mesir disebabkan oleh sistem pemerintahan yang absolut,
politik rasialisme dan campur tangan asing.
Ketiga
faktor inilah yang tampaknya melatar belakangi lahirnya pemikiran Muhammad
Abduh dalam berbagai bidang teologi, syari’ah, sosial-politik dan pendidikan.[19]
Setiap pemikir tentu memiliki
kecenderungan untuk berada pada suatu kerangka pemikiran idiologis tertentu.
Seseorang tidak berhak predikat pemikir jika tidak menganut aliran atau
filsafat tertentu yang diyakini kebenarannya dan yang dimintai petunjuk untuk
menjawab setiap pertanyaan yang terlontar di benak.
Referensi
pemikiran Abduh adalah akidah Islam, ia meyebutkan bahwa salah satu
karakteristik Mesir ialah beragama jadi setiap orang ingin mereformasi Mesir
melalui jalan agama.[20]
Pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh
sendiri tentang kondisi umat Islam adalah sebagai berikut :
1.
Kemunduran umat Islam disebabkan karena kejumudan
dikalangan umat Islam. Sikap ini menurutnya dimasukkan oleh orang-orang
non-Arab yang ingin merampas puncak kekuasaan politik dalam dunia Islam.
2.
Masuknya berbagai bid’ah ke dalam Islam merupakan
penyebab umat Islam melupakan ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk menghilangkan
bid’ah umat Islam harus kembali ke ajaran Islam yang sejati.
3.
Ajaran Islam harus kembali dikembalikan kepada
aslinya dngan interprestasi yang
disesuaikan dengan keadaan modern. Untuk itu pintu ijtihad perlu dibuka, dengan
sendirinya taklid kepada pendapat ulama tidak dipertahankan.
4.
Manusia mempunyai kemampuan akal, menurutnya al-Qur’an
bukan berbicara kepada hati manusia melainkan kepada akal manusia. Aql adalah
pembantu utama manusia dalam bertindak, sedangkan naql adalh sendi yang paling kokoh. Pemikiran akallah
yang banyak menimbulkan ilmu pengetahuan.
5.
Kepercayaan kepada kemampuan akal membawanya kepada
faham kebebasan berkehendak dan bertindak (Qadariyah). Ia setuju dengan analisa
yang mengatakan bahwa umat Islam mundur karena faham Jabariyah.
6.
Ia sangat mementingkan pendidikan. Ia berusaha menambah
kurikulum Al-Azhar, ilmu modern perlu dimasukkan dalam kurikulum, menurutnya modernisasi
sistem pendidikan di Al-Azhar sangat pesat pengaruhnya dalam pembaharuan Islam.
7.
Sekolah-sekolah umum perlu diajarkan pendidikan agama
Islam.[21]
D. Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh
Muhammad Abduh seorang reformer
garda depan terhadap kondisi masyarakat pada masanya. Pengaruh berbagai ide
filosofisnya mampu mengantarkan sebuah dekonstruksi masyarakat seperti
persoalan pendidikan. Pembaharuan pendidikan pernah dia lakukan di Universitas
al-Azhar.[22]
Menurut
pandangan Abduh kurikulum al-Azhar membutuhkan reformasi mendasar setidaknya
melibatkan dua aspek: Pertama. Perlu mengganti buku-buku pegangan, kitab Syarh
harus diganti dengan karya yang lebih awal dan orisinal seperti Muqaddimah,
kajian Islam klasik yang terabaikan seperti etika, sejarah, geografi perlu diperkenalkan
lagi.
Kedua,
memasukkan ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum al-Azhar, ia juga menginginkan
agar Al-Azhar lebih independen dari kontrol penguasa politik. Reformasi
besar-besaran atas Al-Azhar terjadi tahun 1960an dan 1970an, karena beberapa
pemimpin Al-Azhar belakangan adalah murid dan pengikut Abduh.[23]
Salah
satu isu yang paling penting yang jadi perhatian Muhammad Abduh sepanjang hayatnya
adalah pembaruan pendidikan. Baginya pendidikan itu penting sekali sedangkan
ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari. Yang jadi perhatiannya adalah mencari
alternatif untuk keluar dari stagnasi yang dihadapinya sendiri di sekolah agama
Mesir yang tercerminkan dengan baik sekali dalam pendidikan di al-Azhar.
Untuk
lebih jelasnya tentang pemikiran pendidikan Muhammad Abduh dapat dilihat di
bawah ini:
1. Tujuan pendidikan
Menurut Muhammad Abduh adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya
kepada batas-batas kemungkinan seorang mencapai kebahagian hidup di dunia dan
di akhirat Dari rumusan tujuan pendidikan yang demikian dapat dipahami bahwa
tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan luas
mencakup aspek akal (kognitif), dan aspek spiritual (apektif). Dengan tujuan
yang demikian ia pula menginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai sruktur
jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal saja tetapi
juga perkembangan social.[24]
2. Metode pendidikan Muhammad Abduh
Dalam
bidang metode pengajaran ia pun membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat
itu. Ia mengiritik dengan tajam penerapan metode hafalan tanpa pengertian yang
umumnya dipraktekkan di sekolah-sekolah saat itu, terutama sekolah-sekolah
agama. Pada saat mengajar di al-Azhar Abduh memakai metode diskusi, ia
menekankan pentingnya pemberian pengertian dalam setiap pelajaran yang
diberikan bukan hanya mengajar dengan memberi hafalan saja. Karena metode
hafalan bias merusak daya nalar.[25]
Muhammad
Abduh mengubah cara memperoleh ilmu dari metode hapalan dengan metode rasional dan pemahaman. Siswa
di samping menghapal sesuatu juga harus memahami tentang materi yang
dihapalnya. Ia juga menghidupkan kembali metode Munazharah dalam memahami pengetahuan dan menjauhkan metode taklid
buta terhadap para ulama. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah dikalangan
mahasiswa Al-Azhar.[26]
3. Sarana
Pembaharuan
yang dilakukan Abduh tidak hanya menyangkut sistem pengajaran, seperti metode,
kurikulum tetapi juga mencakup sarana fisik, seperti asrama mahasiswa,
perpustakaan dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi mahasiswa.[27]
4. Kurikulum
Adapun rincian kurikulum yang
dirumuskan oleh Muhammad Abduh dapat dipaparkan sebagai berikut:
- Tingkat Sekolah Dasar
a.
Membaca
b.
Menulis
c.
Berhitung
d.
Pelajaran Agama dengan bahan-bahan; akidah menurut
Ahli-Sunnah, serta fiqih dan akhlak yang berkaitan dengan halal haram,
perbuatan-perbuatan bid’ah serta bahayanya dalam masyarakat. Pelajaran ahklak
mencakup perbuatan dan sifat yang baik dan buruk.
e.
Sejarah yang mencakup sejarah Nabi Muhammad Saw dan
para sahabatnya ditambah dengan uraian-uraian tentang khalifah ar-Rasyidin,
yang semuanya diberikan secara ringkas.[28]
2.
Tingkat Menengah
a.
Manthiq atau logika dan dasar-dasar penalaran
b.
Akidah yang dikemukakan dengan pembuktian akal dan
dalil-alil yang pasti. Pada tingkat ini pelajaran yang diberikan belum
menjangkau perbedaan pendapat. Di amping itu dijelaskan fungsi aqidah dalam
kehidupan.
c.
Fiqih dan akhlak. Pada tingkat ini pelajaran fiqih dan
akhlak hanya memperluas bahan yang diberikan pada tingkat dasar. Pelajaran ini
ditekankan pada sebab, kegunaan dan pengaruh terutama dalam maslah akhlak.
Pelajaran fiqih lebih ditekankan pada hokum-hukum agama dan kegunaannya dalam
kehidupan masyarakat.
d.
Sejarah Islam. Yang menyangkut sejarah Nabi, sahabat
dan penaklukan-penaklukan yang terjadi dalam beberapa abad sampai pada masa penaklukan
.
3.
Tingkat Atas
Pelajaran agama
di tingkat ini adalh untuk golongan mereka yang akan jadi pendidik yang
disebutnya sebagai golongan yang arif (‘Urafa’
al-Ummat) pelajaran yang diberikan kepada mereka adalah:
a.
Tafsir
b.
Hadis
c.
Bahasa Arab
d.
Akhlak dengan pembahasan yang terinci sebagaimana yang
diuraikan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’
‘Ulum al-Din.
e.
Ushul fiqih
f.
Sejarah yang termasuk di dalamnya sejarah Nabi dan
sahabatnya. Sejarah peralihan penguasa Islam, sejarah kerajaan-kerajaan Islam
pada masa jatuhnya ke tangan penguasa lain dengan menerangkan sebabsebabnya.
g.
Retorika dan dasar-dasar berdiskusi
h.
Ilmu kalam. Pada tingkat ini ilmu kalam diberikan dengan
menerangkan aliran-aliran yang terdapat dalam ilmu kalam dengan menjelaskan
dalil-dalil yang menopang aliran tersebut. Pada tingkat ini pelajaran ilmu
kalam tidak untuk memperteguh akidah, tetapi untuk memeperluas cakrawala
pemikiran.[29]
Ketiga
paket kurikulum di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama
yang berikan dalam setiap tingkat. Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak
memasukkan ilmu-ilmu barat ke dalam kurikulum yang direncanakan. Menurutnya
ilmu-ilmu tersebut seperti ilmu pasti, ilmu bahasa, ilmu sosial dan sebagainya
dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu dalam kurikulum yang dikemukakan di
atas. Ia tidak tidak merincinya karena masing-masing sekolah atau jurusan
mempunyai pandangan sendiri tentang ilmu apa yang lebih ditekankan untuk
dipelajari. Dengan demikian dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh menekankan pemberian
pengetahuan yang pokok, yaitu akidah, fiqih, sejarah dan akhlak serta bahasa.[30]
5. Anak didik
Abduh
memperjuangkan pendidikan yang universal bagi semua anak baik laki-laki maupun
wanita. Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang harus mendapat pendidikan
minimum agar mereka dapat meneruskan jejak ayah mereka.[31] Pemikiran
Abduh tentang pendidikan wanita sangat besar pengaruhnya. Menurutnya wanita
haruslah mendapat pendidikan yang sama dengan laki-laki. Lelaki dan wanita
mendapat hak yang sama dari Allah. Wanita haruslah dilepaskan dari rantai
kebodohan.[32]
6. Sistem Pendidikan
Situasi
lain yang memunculkan pemikiran pendidikan Muhammad Abduh adalah sistem pendidikan
yang ada pada saat itu yaitu dua tipe
pendidikan. Tipe pertama adalah sekolah-sekolah agama dengan Al-Azhar sebagai
lembaga pendidikan tertinggi. Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah
modern yang dibangun oleh pemerintah maupun oleh bangsa asing. Kedua tipe
tersebut tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lain, masing-masing berdiri
sendiri dan memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikan.[33]
Akibat
terjadi dualisme pendidikan melahirkan kelas social dengan spirit yang berbeda.
Tipe pertama memproduksi para ulama serta tokoh masyarakat enggan menerima
perubahan cenderung untuk mempertahakan tradisi. Tipe yang kedua melahirkan
kelas elite generasi muda dengan ilmu-ilmu barat yang mereka peroleh. Muhammad
Abduh melihat segi negative dari kedua pemikiran, ia memandang bahwa pemikiran
yang pertama tidak dapat dipertahankan lagi. Sedangkan pemikiran kedua ia
melihat bahaya yang mengancam sendi agama dan moral. Dari itulah Muhammad Abduh
melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua institusi tersebut sehingga
jurang yang terbuka lebar dapat dipersempit. Situasi yang demikian melahirkan
pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang formal dan nonformal. Dalam bidang formal
tujuannya yang esensi adalah menghapus dualisme pendidikan.[34]
Selanjutnya
pendidikan nonformal menurut Muhammad Abduh adalah sebagai ishlah (usaha perbaikan). Dalam penyelenggaraan pendidikan ini ia
melihat perlunya campur tangan pemerintah, terutama dalam mempersiapkan para
pendakwah.
Muhammad
Abduh menekankan mereka dari golongan yang terdidik telah mendapat pendidikan
dengan kurikulum pendidik tingkat atas. Tugas mereka yang terutama adalah ;
menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar, mendidik mereka dengan
memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau belum mereka ketahui,
meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada Negara, tanah air dan pemimpin.
Di
luar pendidikan formal menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari
ilmu-ilmu yang datang dari dari barat. Pendidikan akal menurutnya tidak hanya
berlangsung dalam lembaga pendidikan formal tetapi juga di luar yaitu, melalui
pengamatan terhadap dan gejala alam.[35]
E. Kritik Muhammad Abduh Terhadap Pendidikan Mesir
Seorang pemikir adalah hati umat,
biasanya hati selalu melakukan kontemplasi dan penelaahan terhadap setiap
peristiwa untuk kemudian menimbangnya dengan kemaslahatan dan masa depan yang
seharusnya dicapai. Semua ini termasuk kerja-kerja cabang bagi suatu kerja
utama; yaitu kritik.
Kritik Abduh diantaranya adalah
sebagian sekolah-sekolah tingkat dasar baik negeri maupun swasta tidak berupaya
sekuat tenaga untuk memasukkan
kaedah-kaedah dasar Islam ke dalam kurikulum pendidikan atau buku-buku yang
dikhususkan untuk itu.
Meskipun
perundangan-undangan sudah menyebutkan
bahwa sekolah-sekolah tingkat dasar harus memperhatikan secara serius
pendidikan kaedah-kaedah dasar Islam bagi para anak-anak muslim. Kritiknya juga
mengenai beberapa sekolah negeri maupun swasta tidak menyediakan tempat khusus
untuk solat.[36]
Kritik Abduh selanjutnya adalah
bahwa pendidikan hanya dilakukan dengan satu metode pendiktean saja , satu
metode yang tidak membantu pembentukan pemikiran yang inklusif dan
rasionalistas yang toleran.. Selanjutnya kritiknya ditujukan kepada para tenaga
pendidik yang tidak mengetahui apapun kecuali hafal al-Qur’an saja.[37]
Abduh juga mengungkpakan sebuah
fenomena yang telah menimbulkan gejolak social, kebudayaan, dan keagamaan yang
begitu dahsyat di Mesir bertahun-tahun. Fenomena yang tak lain adalah sekolah
khusus yang tersebar di seluruh penjuru Mesir yang didirikan untuk memuluskan
misi keagamaan orang barat. Terdapat sekolah-sekolah khusus kaum Kristen,
Protestan, sementara anak didik yang belajar di sekolah itu tidak hanya berasal
dari satu agama saja.
Satu hal yang mendatangkan pengaruh besar
ketika pendidikan keagamaan dilakukan kepada anak didik. Akhirnya anak didik
Protestan beralih menganut agama Kristen Katolik, anak didik muslim tiba-tiba
pulang ke rumah dan menyatakan bahwa dirinya telah memeluk agama Kristen.[38]
E. Karya-karya Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh memiliki signifikasi pengaruh besar terhadap ulama-ulama Al-Azhar
khususnya para ulama atau calon para ulama institusi Al-Azhar Abduh sebagai
ulama pendidikan dengan melalui berbagai karyanya.
Adapun karya-karya Muhammad Abduh
adalah sebagai berikut : 1, Tafsir al-Manar (berkecendurungan rasionalistik),
2, Tafsir Juz ‘Amma (sejalam dengan mazhab Syafi’i), 3, Durus Min Al-Qur’an
(pelajaran-pelajaran al-Qur’an), 4, Risalah Tauhid (ilmu kalam), 5, Syarh Nahj
al-Balaghah (berisikan tentang sya’ir-sya’ir sahabat Ali bin Abi Thalib), 6,
Hasyiyah ‘ala Syarh al-Dawwami bi al-Aqaid al-‘Adudiya (komentar terhadap
penjelasan al-Dawwami terhadap aqidah yang meleset), 7, Al-Islam wa Nasraniyah
Ma’had ma’al-‘Ilmi al-Madaniyah (Islam dan Nasrani bersama ilmu-ilmu peradaban),
8, Syarh Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamdani (penjelasan tingkatan-tingkatan masa
keemasan), 9, Syarh al-Basyir al-Nasriyah Fi ‘Ilm al-Mantiq (logika), 10,
Taqrir Fi al-Ishlah al-Mahakim al Syar’iyyah (tentang hokum-hukum Islam), 11,
Wadatul Wujud (Ilmu Tasauf), 12, Tarikh Isma’il Pasya (Sejarah), 13, Filasafat
Wa al-Ijtima’I al-Tarikh (Filsafat Sosial), 14, Nizam al-Tarbiyah al-Misriyah
(Pendidikan), 15, Tarikh Asbah al-Tsurah al-‘Arabiyah (Sejarah), 16, Risalah
al-Waridah (Teologi).
Selain tertuang pada sejumlah karya
di atas dia juga aktif menyumbangkan gagasannya lewat berbagai majalah dan
surta kabar seperti Al-Ahram di Paris, Al-Waqaid al-Misriyah di Mesir,
Al-Muayyad dan Al-Urwatul Wutsqa serta Al-Manar di Mesir.
Gagasan pembaharuan pemikiran
Muhammad Abduh ini ternyata juga diikuti oleh para muridnya setianya yaitu
Muhammad Rasyid ridho dan generasi setelahnya seperti Qosim Amin, Ali Abdur
Raziq, Muhammad Kurd, Thaha Husein.[39]
F. Kesimpulan
Muhammad
Abduh dilahirkan tahun 1849 M (1266 H) disalah satu desa di Delta sungai Nil
Mesir bagian hilir. Selaku anak dari keluarga yang taat beragama, mula-mula
Muhammad Abduh diserahkan oleh orang tuanya untuk belajar mengaji al-Qur’an.
Berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab
suci al-Qur’an seluruhnya pada hal ketika itu ia masih berumur dua belas tahun.
Ketika berumur tiga belas tahun, Muhammad Abduh dibawa ke Tanta untuk belajar di Mesjid Ahmadi.
Ada beberapa faktor yang
dianggap mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh yaitu : Pertama. Faktor sosial,
berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya terutama Syekh
Darwisy dan Said Jamaluddin. Di samping itu lingkungan Sekolah di Tanta dan
Mesir tempat ia menemukan sistem pendidikan yang tidak efektif, serta pandangan
keagaamaan yang statis.
Kedua.
Faktor kebudayaan, berupa ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama belajar
sekolah-sekolah formal, dari Said Jamaluddin serta pengalamannya dari barat.
Ketiga Faktor politik yang bersumber dari situasi politik pada masanya, sejak
ia hidup dalam lingkungan keluarganya di Mahallat Nashr. Dari kezaliman yang
dilakukan oleh para pegawai pada masa Muhammad Ali Pasya sampai gejolak-gejolak
politik Mesir disebabkan oleh sistem pemerintahan yang absolut, politik rasialisme
dan campur tangan asing.
Salah
satu isu yang paling penting yang jadi perhatian Muhammad Abduh sepanjang
hayatnya adalah pembaruan pendidikan. Muhammad Abduh membagi pendidikan ke
dalam dua bidang yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan
formal diarahkan kepada tiga hal yaitu kurikulum, metode pengajaran dan
pemberian pendidikan terhadap wanita. Selanjutnya pendidikan nonformal menurut
Muhammad Abduh adalah sebagai ishlah (usaha
perbaikan). Dalam penyelenggaraan pendidikan ini ia melihat perlunya campur
tangan pemerintah, terutama dalam mempersiapkan para pendakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh Muhammad, Risalah
Tauhid, terj Firdaus, Cet ke VII,
Jakarta: Bulan
Bintang, 1979
Ali Said Ismail, Pelopor
Pendidikan Islam Paling berpengaruh, Terj
Muhammad Zainal Arifin, Cet ke I, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2010.
Asari Hasan, Modernisasi Islam, Bandung: Cita Pustaka Media, 2007.
Fadhil SJ, Pasang
Surut Perdaban Islam Dalam Lintasan Sejarah, Cet ke I, Yogyakarta:
UIN Malang Press, 2008.
Glasse Cyril, Ensiklopedi
Islam Ringkas, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Lubis Arbiyah, Pemikiran
Muhammadiyah Dan Muhammad Abduh, Cet ke I, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Malik Ibrahim Maulana, Pendidikan Islam, Cet ke I, Malang:
UIN Malang Press, 2009.
Mufrodi Ali, Islam
di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
Nasution Harun, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press, 1987.
Rahmena Ali (ed),
Para Perintis Zaman Baru Islam, terj Ilyas Hasan, Cet ke II, Bandung: Mizan, 1996.
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan
Islam di Dunia Islam dan Indonesia, Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Usman Said, Filsafat
Pendidikan Islam, Cet ke III, Jakarta:
PT. Raja Grapindo Persada, 1999.
[1]
Usman, Filsafat Pendidikan Islam, Cet
ke III, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999), hlm. 153
[2]
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan
Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 159
[3]
Abduh, Risalah Tauhid, Terj Firdaus,
Cet ke VII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 17
[4]
Asari, Modernisasi Islam, (Bandung: Cita Pustaka
Media, 2007), hlm. 70
[5]
Rahmena (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Terj
Ilyas Hasan, Cet ke II, (Bandung:
Mizan, 1996), hlm. 37
[6]
Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan
Muhammad Abduh, Cet keI, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 113
[7]
Rahmena (ed), Para …………………………………, hlm. 37
[8]
Abduh, Risalah ……………………………… hlm.17-18
[9]
Lubis, Pemikiran …………………………….. hlm.
114 -115
[10]
Rahmena, (ed), Para …………………………………………….. hlm. 38-39
[11]
Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 6
[12]
Rahmena, (ed), Para………………………………………………...
hlm. 39-40
[13]
Malik, Pendidikan Islam, cet ke I, (Malang: UIN Malang Press,
2009), hlm. 352
[14] Ibid, hlm. 350
[15]
Lubis, Pemikiran ……………………………………. hlm.
121
[16]
Malik, Pendidikan ……………………...hlm.
350-351
[17]
Lubis, Pemikiran ……………………… hlm. 122
[18] Ibid, hlm. 120
[19] Ibid, hlm. 124
[20]
Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling
berpengaruh, Terj Muhammad Zainal
Arifin, Cet ke I, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 140
[21]
Fadhil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam
Dalam Lintasan Sejarah, cet ke I, (Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008), hlm. 254-255
[22]
Malik, Pendidikan …………………hlm. 358
[23]
Asari, Modernisasi ………………...hlm. 79
[24]
Lubis, Pemikiran …………………………………….. hlm. 156
[25] Ibid, hlm. 160
[26]
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia,
(Jakarta:
Quantum Teaching, 2005), hlm 48
[27]
Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), hlm. 20
[28]
Nasution, Muhammad ……………………………………hlm.
743
[29]
Lubis, Pemikiran …………………………………….. hlm. 158
[30] Ibid, hlm. 159
[31] Ibid, hlm. 59
[32] Ibid, hlm. 160
[33] Ibib, hlm. 154
[34] Ibid, hlm. 155-156
[35] Ibid, hlm. 161
[36] Ali, Pelopor ……………………………………….. hlm. 150
[37] Ibid, hlm. 152
[38] Ibid, hlm. 158
[39] Malik, Pendidikan……………………….
hlm. 363