PPP SUMUT BERGERAK BERSAMA RAKYAT--- Mau Dipublikasikan, Kami Harian_Indonesiapagi.Online Siap Hadir Untuk Anda. Terima Kasih. BUKTIKAN.....!---DIJUAL HP SECOND, MOBIL SECOND, DAN SEPEDA MOTOR SECOND MURAHHH....HUB:085837686014---MAU BERDISKUSI TENTANG JURNALIS, POLITIK DAN AGAMA HUBUNGI MAHASISWA S3 PPs UIN SUMUT SUASANA NIKMAT GINTING, MA DI NOMOR HP 081396100099---KESEHATAN ITU PALING UTAMA. JAGA KESEHATAN DENGAN MADU HITAM" SILAHKAN PASANG IKLAN BARIS ANDA DI SINI, HUB. Hp: 081396100099

Sabtu, 13 Oktober 2018

Modrenisasi Pendidikan Islam di Mesir


Modrenisasi Pendidikan Islam di Mesir

Oleh:
Ficki Padli Pardede



BAB I
Pendahuluan
Pendidikan Islam pada dulunya sangat mengalami kemajuan yang pesat, bahkan orang-orang Barat menjadikan Islam sebagai kiblat pendidikan mereka. Namun berikutnya justru bangsa Barat yang jauh lebih maju di bandingkan dengan ummat Islam. Hal ini disebabkan karena ketertinggalannya ummat Islam dalam bidang pendidikan, baik berupa metode, isi dan sistim pendidikan.
Oleh karena itu, ummat Islam merasa perlu mengadakan pembaruan dalam dunia pendidikan Islam. Pembaruan pendidikan Islam dilakukan diberbagai daerah seperti Saudi Arabia, Turki Utsmani, Mesir, India dan tempat-tempat lain.
Khusus pada tulisan ini, penulis akan mencoba membuat dan menghantarkan isi tulisan dengan untuk memberikan pengetahuan dan menambah pengetahuan tentang pembaruan pendidikan Islam yang dilakukan di mesir pada abad 18 dan apa saja pembaharuan yang dilakukan dalam bidang pendidikan serta siapa- siapa saja tokoh yang melakukan pembaharuan di Mesir pada abad 18 tersebut.
Kritik dan saran yang konstruktif dan semua pihak sangat diharapkan penulis untuk kesempurnaan penulisan ini.



BAB II
Pembahasan

a.   Latar Belakang, Pendidikan Islam Mesir Abad ke-18
Kuttab, masjid dan madrasah merupakan lembaga pendidikan utama di Mesir dan kawasan Timur Tengah pada umumnya. Pada periode berikutnya, institusi tersebut berkembang menjadi sekolah sekolah modern seperti yang dapat kita saksikan dewasa ini. Kuttab, pada dasarnya berarti anak yang belajar kitab, tetapi dipahami secara populer dengan arti maktab sebagai tempat belajar kitab dan Al-Qur’an. Kata kuttab dan maktab sama-sama dipergunakan untuk menentukan tempat pendidikan pertama.[1] Goldziher menerjemahkan kata kuttab dengan maktab dengan elementry school yang bertujuan untuk memberikan pendidikan tingkat pertama kepada anak didik.[2]
Pada abad ke-18, kuttab di Mesir pada umumnya berada di bawah pengawasan Badan Waqaf. Pendidikan juga dilaksanakan dimasjid-masjid sejak ‘Amr ibn Ash mendirikan masjid pertama diFusthath. Missi masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan Islam masih berjalan sampai sekarang. Sungguh pun demikian, tidaklah semua masjid berkembang menjadi institusi pendidikan yang terorganisir, yang sempat berkembang ke arah ini, yaitu masjid Al Azhar.[3]
Menurut Al-Maqrizi, di masjid ini terdapatdelapan kelompok studi yang membahas berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan umum.[4] Kemudian madrasah merupakan kelanjutan dari pendidikan yang awalnya dilaksanakan di masjid. Di Mesir, pertumbuhan madrasah erat hubungannya dengan pertarungan pemikiran untuk menghapus madzhab Syi’ah yang mulai berkembang sejak masjid Al-Azhar didirikan karena para ulama melihat tidak layak mengadakan perdebatan sengit mengenai sesuatu di dalam masjid.[5] sehingga didirikanlah Madrasah Al-Hafiziyah dan Madrasah Asy-Syafi’iyah, keduanya merupakan madrasah pertama di Mesir.[6]
Melihat kenyataan pendidikan di Mesir masih bersifat tradisional, maka pada tahun 1833, Muhammad Ali memerintahkan untuk membangun sepuluh buah sekolah dasar di Mesir, sebagai jenjang pertama untuk persiapan calon pelajar bagi sekolah-sekolah kejuruan sehingga pada masa Muhammad Ali, mulai berjalan dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan tradisional dan pendidikan modern yang sekuler, yang diselenggarakan secara terpisah.
Akibatnya, lulusan sekolah ini pun terbagi dua; alumni sekolah agama dan alumni sekolah modern.[7]
Sistem pendidikan, baru dapat dilihat pengaruhnya setelah usaha yang dilakukan oleh Khedive Ismail Pasya yang menjadikan Mesir bahagian dari Eropa. Beliau mengaktifkan kembali Dewan Al Madaris, menambah jumlah sekolah dasar dan sekolah menengah dan merencanakan policy pendidikan baru serta mengeluarkan Undang-Undang Pendidikan Nasional yang dikenal dengan Undang-Undang 10 Rajab, Tahun 1284 Hijriyah, Nopember 1869.[8] Dengan berdirinya sekolah-sekolah dasar dan sekolah menengah, mulai dirasakan perlunya guru-guru yang berkualitas, maka oleh Ali Mubarak, dibuka sebuah pusat pelatihan untuk mendidik guru-guru yang diberi nama Dar-Al-Ulum.[9]
Lembaga ini ditempati untuk mendidik guru-guru dalam bidang fisika, geometri, ilmu bumi, sejarah dan tulisan indah. Selain itu, juga dimaksudkan untuk mendidik guru-guru untuk bidang studi yang diajarkan di Al-Azhar, seperti Al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqh dan bahasa Arab.[10] Dengan demikian, Dar Al-Ulum berusaha menggabungkan bidang studi agama dengan bidang studi umum (modern). Suatu kebetulan pula bahwa pada masa erkembangan ini bertepatan dengan kedatangan Jamal al-Din al-Afgani ke Mesir dan permulaan usaha pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh. Melihat bahwa pendidikan pada masa itu terbagi menjadi tiga; pendidikan rakyat (yang diwakili oleh kuttab), pendidikan untuk keluarga penguasa, (diwakili oleh sekolah modern yang dibangun sejak masa Muhammad Ali) dan pendidikan ulama (diwakili oleh pendidikan akademis keagamaan seperti Al-Azhar). Pada masa itu, Muhammad Abduh merasakan bahwa pendidikan rakyat sangat diabaikan. Oleh karena itu, itu mengembangkan pendidikan rakyat, beliau mendirikan al-Jami’ah al-Khairiyyah pada tahun 1892.[11]
Periode Abduh ini merupakan periode yang menentukan dalam sejarah Mesir. Ide Barat mulai masuk disamping ulama tradisional. Terdapat kaum intelektual yang ingin terlepas sama sekali dari masa lampau. Mereka mengembangkan nasionalisme. Rasa nasionalisme mereka mendapat tempat yang penting sejak 1919, yang ditandai dengan meluasnya pendidikan di kalangan rakyat setelah tahun 1923 yang memberikan dukungan terhadap nasionalisme. Pada periode ini terdapat dualisme pendidikan. Satu pihak menginginkan pendidikan yang bertujuan untuk membentuk kelompok elit dalam masyarakat yang selanjutnya diharapkan dapat memimpin negara, sedangkan pandangan kedua menginginkan pendidikan sebagai upaya mencerdaskan bangsa.
Pada tahun 1935, pemerintah membuat gagasan untuk melaksanakan secepat mungkin rencana perluasan pendidikan yang telah disepakati. Kemudian pada tahun itu pula, diputuskan untuk mengubah sistem belajar di kuttab menjadi sistem sekolah sehari penuh (full day system) di seluruh kota-kota propinsi.[12] Untuk usaha ini, pada tahun 1937, pemerintah telah menyerahkan kepada seluruh kantor di propinsi untuk mengatur kuttab-kuttab yang ada di daerah masing-masing. Kemudian pada tahun 1983, pemerintah menghilangkan jurang antara kuttab dan sekolah dengan memindahkan pelajaran bahasa asing dari tingkat satu ke tingkat dua.[13]
Pada tahun 1944 Departemen Pendidikan Muhammad Ihsan, memutuskan untuk menghapuskan biaya sekolah pada sekolah-sekolah dasar. Hal ini dimaksudkan untuk mengikis perbedaan tingkat sosial dan memasyarakatkan pendidikan. Pada tahun 1949, anak didik dibebaskan dari biaya pembelian buku.[14]
b.  Strategi Pembaruan Pendidikan Islam
Meletusnya revolusi pada tahun 1952 di Mesir, telah memberi warna baru sepanjang sejarah Mesir, di mana sebuah rejim baru membawanya menuju tujuan modernisasi yang menguasai dan mengadopsi kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengubah masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Masyarakat modern Mesirlah yang menjadi visi presiden Gamal Abdul Naser, seorang pemimpin yang penuh kharismatik di Timur tengah, yang berperanan memainkan aturan-aturan penting baik dalam transformasi masyarakat Mesir maupun dalam arena internasional.[15] Yang pertama kali dilakukan Naser adalah memperkuat posisi kekuasaannya dengan menghapus monarki menuju sebuah organisasi politik, juga mengasingkan semua asosiasi, baik yang bergerak di bidang agama, maupun yang bergerak di bidang sosial sehingga kekuasaannya menjadi lebih tersentralisasi. Untuk memobilisasi dukungan, untuk melegitimasi otoritas dan tujuan perkembangan nasional, Naser hanya membentuk satu partai liberal kemudian direorganisasi menjadi Uni Nasional atau Uni Sosialis Arab.
Perubahan partai-partai tersebut menunjukkan evolusi orientasi pemerintahan dan usaha untuk menginstitusi serta melegitimasi peraturannya menjadi modernisasi. Untuk mewujudkan tujuan modernisasinya, Naser membaginya tiga tahap. Pertama (1952-1956), mengadakan konsolidasi kekuatan secara revolusioner, juga membentuk partai liberal untuk mendukungnya. Selain itu ia juga menempuh jalan memanfaatkan kaum agamawan untuk mendapatkan legitimasi untuk kelanggengan posisinya; kedua (1956-1961), melakukan upaya-upaya pembangunan dengan menekankan pada aspek ekonomi dan reorganisasi sosial. Untuk tujuan itu, konstitusi baru segera dilaksanakan pada tahun 1956 dengan memberikan penekanan pada dedikasi pemerintah untuk mencapai keadilan sosial. Pada periode ini, isu kebijakan luar negeri melanda Mesir, diikuti krisis Suez pada tahun 1956. Pada era inilah Naser tampil sebagai aktor yang memimpin Nasionalis Arab, yang kemudian menerapkan ideology sebagai faktor legitimasi; ketiga (1961), menerapkan ideologi baru dalam rangka transformasi sosial yang menekankan pada bidang ekonomi dan industrialisasi.[16]
Kebijakan-kebijakan politik tersebut di atas, membawa implikasi pada penyelenggaraan pendidikan Islam, karena pemerintah berusaha membangun kembali sistem pendidikan untuk menyesuaikan dengan konstalasi politik dan sosial yang berkembang dan tujuan pembangunan ekonomi yang ingin dicapai pada saat itu. Beragam reformasi telah dilakukan, termasuk penekanan pada sekolah kejuruan,teknik dan pelatihan ilmiah, juga upaya-upaya penyempurnaan pendidikan secara luas.[17]
Adapun kebijakan-kebijakan pada sektor pendidikan pada masa awal, diterbitkan berbagai undang-undang, yaitu Undang- Undang No. 210 Tahun 1953 yang bertujuan menasionalisasikan semua pendidikan persiapan (prepatory education) terjadi tiga tingkatan. Tingkat pertama ditempuh oleh anak didik dalam usia 6 sampai 12 tahun. Lulusan tingkat dasar ini dapat meneruskan pelajaran ke tingkat SLTA, 3 tahun. Selanjutnya, Undang-Undang No. 213 Tahun 1956 dikeluarkan untuk penghapusan biaya sekolah pada setiap pendidikan negeri.[18] Undang-undang ini juga melarang ujian promosi tingkat atau kelas tanpa batas-batas tahun yang telah ditentukan. Pada tahun 1958, dikeluarkan Undang-Undang No. 160 yang melarang semua sekolah asing, dan menyerahkannya kepada pihak swasta dalam negeri, kurikulum sekolah-sekolah pada masa ini kemudian berada dalam pengawasan Departemen Pendidikan. Dengan demikian, kurikulum semua institusi pendidikan di Mesir, berada di bawah pengarahan pemerintah. Pada tahun 1956, ketika ada krisis Terusan Suez, pemerintah membentuk pelatihan militer yang dipersiapkan untuk pertahanan.[19]
Terjadinya revolusi pada tahun 1952, pemerintah mengambil sikap hampir sama dengan sikap yang diambil oleh Muhammad Ali, mengenai peranan agama dalam kehidupan beragama dalam negara, dimana rezim Jamal Abdul Naser telah memainkan peranan ambivalendalam agama. Negara senantiasa membuat kompromi-kompromi dengan agama. Islam dinyatakan sebagai agama negara, tetapi hokum Islam ditafsirkan dalam jubah sekuler. Singkatnya rezim ini hendak merumuskan agama dalam arah yang sesuai dengan tujuan-tujuan politiknya.[20]
Badan Wakaf akhirnya mengalami serangkaian perubahan dan berhasil dimasukkan ke dalam kontrol penuh pemerintah pada tahun 1952, termasuk Al-Azhar. Walaupun Universitas Al-Azhar ini tidak banyak berpengaruh dalam kehidupan politik pemerintahan Mesir dibanding dengan universitas-universitas lainnya, seperti Universitas Kairo, Universitas Alexandria, Universitas Ainun Syams dan Assyut, namun Al-Azhar merupakan lembaga yang dihormati oleh kalangan masyarakat Mesir sehingga para penguasa sering mengadakan interfensi untuk merebut simpati rakyat dalam rangka memperoleh legitimasi rakyat atas kekuasaannya.[21] Al-Azhar merupakan lembaga yang sangat strategis untuk dimanfaatkan melakukan ide-ide pembaharuan karena Al-Azhar merupakan pusat studi Islam yang terkenal. Al-Azhar merupakan pusat pendidikan agama yang menonjol di dunia Islam. Selain itu, Al-Azhar juga merupakan salah satu dari lembaga-lembaga paling penting yang menerima dan mendidik mahasiswa asing dari belahan dunia, diantaranya mahasiswa-mahasiswa dari Indonesia, Filipina, Singapura, Brunei, Thailand, Cina dan lain-lain.[22]
Modernisasi Al-Azhar sebenarnya telah dimulai olehsekelompok ulama tertentu pada abad ke-19, yang terkemuka di antaranya adalah Muhammad Abduh, tetapi efeknya hanya dirasakan pada lapangan organisasi, sistem ujian dan pengenalan kajian-kajian     tertentu.[23] Kemudian perubahan juga terjadi pada tahun 1960-an, saat pemerintah melihat bahwa negara mengharapkan generasi mudanya tidak hanya sekedar belajar keagamaan, tetapi juga ilmu-ilmu profan sehingga mereka dapat berguna bagi tanah airnya.
Di samping itu, mahasiswa yang dididik dengan pendidikan sekuler pada Universitas Mesir, kurang mendapatkan porsi pelatihan keagamaan, sehingga dipadukanlah ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu profan.[24]
Untuk melanjutkan modernisasi pendidikan di Universitas AlAzhar, tepatnya pada tanggal 18 Juli 1961, Presiden Jamal Abdul Naser menetapkan bahwa administrasi Universitas Al-Azhar[25] diletakkan di bawah kekuasaannya, yang kemudian membawa perubahan terhadap sistem, perencanaan dan program-program studi di Al-Azhar. Dalam hal ini, Jamal Abdul Naser mengikuti programp rogram Thaha Husein, yaitu dengan: pertama, menambah fakultas-fakultas sekuler pada Universitas Al-Azhar, seperti, 1.Fakultas Pendidikan, 2.Fakultas Kedokteran, 3.Fakultas Perdagangan dan Manajemen, 4.Fakultas Sains dan Industri, 5. Fakultas Pertanian, 6.Fakultas Farmasi dan 7.Fakultas Ilmu Alam[26] kedua, menambah muatan kurikulum, yaitu agar sekolah-sekolah modern dibuka, di mana ilmuilmu pengetahuan modern diajarkan, disamping ilmu pengetahuan agama. Kurikulum Universitas Al-Azhar dilengkapi dengan ilmu pengetahuan modern agar para ulama mengerti kebudayaan modern sehingga dengan demikian mereka dapat menemukan solusi bagi persoalan-persoalan yang timbul di zaman modern.[27] Tentang muatan kurikulum, lebih khusus ditujukan pada pengajaran bahasa-bahasa asing (Barat) yang secara khusus Thaha Husein mengusulkan agar empat bahasa: Inggeris, Prancis dan Italia, diajarkan pada sekolah-sekolah di Mesir.[28] Alasannya adalah: (1) bahwa dalam perkembangan ilmu pengetahuan, seseorang dituntut untuk bisa menguasai beberapa bahasa asing yang dapat menunjang perkembangan ilmu, (2) bahwa ilmu pengetahuan serta keunggulan iptek dan seni tidak selayaknya dimiliki oleh satu bangsa saja melainkan harus dimiliki oleh semua bangsa; ketiga, memperbanyak pengiriman duta-duta ilmu pengetahuan ke negara-negara Barat. Studi ke negara-negara Barat menurut Thaha Husein, merupakan suatu langkah yang absah, mengingat orang-orang Barat dulu belajar ke Timur Tengah, terutama pada abad pertengahan, di saat kaum muslimin memiliki peradaban yang kosmopolit.
Segalanya telah berubah di saat orang-orang Bara menuju tatanan dunia modern umat justru Islam lambat laun mengalami stagnasi pemikiran. Kini dunia Barat telah sampai kepada kemajuan di berbagai bidang, maka semestinya orang-orang muslim belajar dari kemajuan yang telah diperoleh Barat; dan empat, memperbanyak fasilitas pendidikan. Fasilitas yang perlu diperbanyak adalah ruang belajar. Thaha Husein mendorong pemerintah untuk segera membangun ruang belajar sehingga tercipta kondisi ideal antara jumlah kelas, sekolah dengan jumlah siswa. Usaha ini berhasil, di mana pemerintah membangun ruang belajar sebanyak 2600 buah, serta menghapuskan uang sekolah untuk tingkat menengah.[29]
Perubahan yang besar itu pada dasarnya didesak oleh kenyataan bahwa jumlah mahasiswa Al-Azhar yang bertambah besar dengan cepat tidak bisa bersaing dengan produk-produk sistem pendidikan umum, jadi fakultas-fakultas baru tersebut terutama ditujukan untuk menyesuaikan. Tetapi manfaat yang nyata yang lainterlihat dari kenyataan bahwa suatu kelas profesional yang berbobot akan diciptakan, yang memiliki pengetahuan yang mantap tentang Islam dibanding dengan produk-produk sistem pendidikan umum, yang hanya memiliki pengetahuan agama yang dangkal. Tak syak lagi ini merupakan perkembangan yang sangat penting dan, dari sudut pandangan agama akan mempunyai efek-efek berjangkauan jauh dalam jaringan kehidupan sosial Mesir.[30] Diperkenalkan guru-guru wanita di sekolah-sekolah dan runtuhnya dinding pemisah total antara laki-laki dan wanita dalam pergaulan sosial.
Dalam tahun 1962, sebuah akademi wanita juga didirikan dalam kompleks Al-Azhar, yang kemudian menjadi sebuah universitas (di lingkungan Al-Azhar) yang memiliki fakultas kedokteran sendiri.[31] Dengan demikian, secara sosiologis, hal ini tentu saja merupakan perubahan-perubahan yang mengejutkan. Menurut Harun Nasution,[32] gagasan memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita pada Islam modern di Mesir ini, pertama kali digaungkan oleh Rifa’ah al-Tahtawi (1801-1873) agar wanita Mesir memperoleh pendidikan yang sama dengan pria. Tujuan pendidikannya agar wanita dapat menjadi isteri yang baik dan dapat menjadi teman suami dalam kehidupan intelek dan sosial, lebih dari itu pendidikan wanita ini juga dalam rangka membentuk kepribadian dan menanamkan rasa patriotisme atau Hubbu al-Watan.
Gagasan tersebut semakin dipertegas oleh Muhammad Abduh (1849-1905). Menurut Abduh wanita dalam Islam sebenarnya mempunyai kedudukan yang tinggi, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam mengubah hal tersebut sehingga akhirnya wanita Islam mempunyai kedudukan rendah dalam masyarakat.[33] Ide ini kemudian dikupas panjang lebar oleh Qosim al-Amin (1865-1908) dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah (kebebasan wanita) terbit tahun 1900 dan al-Mar’ah al-Jadidah (wanita modern) terbit tahun 1901.[34]
Menurut Qosim Amin, umat Islam mundur karena kaum wanita (setengah dari jumlah penduduk Mesir) tidak pernah memperoleh pendidikan sekolah. Pendidikan wanita itu perlu. Hal tersebut bukan hanya agar wanita dapat mengatur rumah tangga, melainkan juga agar mereka dapat memberikan pendidikan dasar bagi putra-putri mereka. Ide ini kemudian diteruskan oleh Thoha Husein (1899-1973) dan pada masanya (1954) wanita telah diizinkan kuliah di Al-Azhar. Dengan demikian, gagasan memperjuangkan pendidikan wanita pada masa Islam modern menunjukkan adanya kesinambungan organik yang tidak terputus dari para pemikir sebelumnya sampai didirikannya akademi wanita di kompleks Al-Azhar.
c.   Aspek-Aspek Modernisasi
Aspek- aspek modernisasi di sini  meliputi dua aspek:
1.      Pranata Sosial
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa modernisasi dalam Islam dipelopori oleh raja Mesir, Muhammad Ali Pasya (1815-1849). Dalam riwayat hidupnya diketahui bahwa Muhammad Ali Pasya tidak pernah belajar membaca dan menulis, karena ia buta huruf. Dengan demikian modrenisasi yang dilaksanakan  dalam masyarakat Mesir hanya baru menyentuh dimensi pranata sosial, yang kni dengan mendirikan lembaga pendidikan modren sejak tahun 1823. Dalam kurun waktu tersebut dijumpai sebanyak 19 buah sekolah moderen yang didirikannya.[35]
Pendidikan Islam itu tidak statis melainkan dinamis mengikuti dinamika masyarakat. Oleh karena itu pendidikan Islam harus selalu diperbaharui sesuai dengan pekembangan masyarakatnya. Pada dasarnya, pembaharuan pendidikan Islam itu diilhami oleh kemajuan barat dalam bidang sains. Sains yang berkembang di dunia barat itu diperkenalkan di dunia Islam oleh Napoleon Bonaparte (1804-1815), kaiser prancis, ketika ia menduduki Mesir sejak tahun 1798. Hal ini disadari pula oleh pemimpin Mesir pada waktu itu Muhammad Ali Pasya. Ia yakin bahwa kalau negeri Mesir ingin maju harus mengadopsi sains Barat tersebut. Untuk itulah ia megalami pembaharuan dalam masyarakat Mesir. Karena ia seorang raja dan militer maka ia memulai pembaharuan dalam bidang militer. Ketika melaksanakan ini, ia mengalami kesulitan sumber daya manusia. Karena itu iapercaya bahwa pembaharuan dalam bidang militer harus dibarengi dengan pembaharuan dalam bidang pendidikan.[36]
Untuk melaksanakan cita- citanya itu, Muhammad Ali Pasya mendirika sekolah- sekolah moderen di mesir sejak tahun 1815, yang meliputi sekolah militer (1815); sekolah tekhnik (1816); politeknik (1820); sekolah tinggi kedokteran (1823); sekolah menengah umum (1825); sekolah akunting sipil (1829); sekolah irigasi (1831); sekolah industri (1831) sekolah dasar (1833); sekolah pertambangan (1834); sekolah administrasi (1834); sekolah pertanian (1836); sekolah perwira angkatan laut; dan akademi industri Bahari. Inilah sekolah- sekolah moderen pertama di dunia Islam.[37]
            Jadi bisa dikatakan secara kelembagaan ini merupakan aspek yang dimodrenisasi oleh Muhammad Ali Pasya di dalam dunia pendidikan Islam pertama di Mesir. Sehingga diharapkan kemajuan dapat tercapai dengan baik.
2.      Aspek Pemikiran Islam
Langkah pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali Pasya tersebut diikuti oleh para modernis sesudahnya, terutama Muhammad Abduh (1849-1905) serta murid- muridnya dan para pengikutnya. Berbeda dengan modernisasi yang dilakukan Muhammad Ali Pasya dalam bidang pranata sosial. Maka modernisasi yang dilakukan para pada tokoh modernis sesudahnya selain menyentuh dimensi pranata sosial, juga sudah menyentuh dimensi pemikiran Islam dalam berbagai bidang, antara lain bidang pedidikan Islam, Hukum Islam, politik dan teologi Islam. Begitu juga pembaharuan yang dilaksanakan para modernis terakhir ini mempunyai pengaruh besar terhadap pembaharuan di dunia Islam lainnya, termasuk Indonesia.[38]Misalnya dalam bidang pemikiran pendidikan islam diikuti oleh Abdulah Ahmad (1878-1932) dengan mendirikan madrasah Adabiyah. Dalam bidang pemikiran hukum Islam diikuti oleh Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.[39]
Pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali Pasya ini juga berlanjut ke lembaga pendidikan di Universitas Al Azhar  dengan memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum lembaga pendidikan itu. Hanya karena ilmu pengetahuan umum itu tidak diajarkan lagi pada madrasah dan universitas al- Alzhar sejak masa dinasti Ayyubiah, dan itu mendapat pertentangan dari masyarakat.[40]
Akibat dari itu semua, Muhammad Ali Pasya dituduh sebagai westernisasi (ke-Barat-baratan) dengan kebijaksanaannya itu. Inlah tantangan yang dihadapi Muhammad Ali Pasya sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam di Mesir.[41]
d.  Tokoh-Tokoh Utama
1. Muhammad Ali Pasya
Ali Pasya dilahirkan di Negeri Qaulah, Albani, di dalam wilayah Macedonia tahun 1182 H. Ayahnya Ibrahim perwira di dalam balententara Turki yang menjaga negeri itu. Ayahnya meninggal sewaktu Pasya berusi 4 tahuan, setelah itu ia di asuh Pamannya, namun tidak lama kemudian Pamannypun meninggal, kemudian diangkat menjadi anak pungut oleh Guburnur setempat, yang selanjutnya ia serahkan kepada seorang sahabat ayahnya.[42]
Setelah ekspedisi Napoleon berakhir di Mesir, Muhammad ‘Ali mengambil kekuasaann. Menurutnya Mesir harus dijadikan Negara maju dan rahasia kekuatan pembaharuan  Dunia Barat menuju kemoderenan melalui ekspedisi Napoleon telah dapat di tangkap di Mesir.
         Ali Menyatakan bahwa dasar kemajuan dunia Barat adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi didirikan sekolah-sekolah : Sekolah Meliter (1815), Sekolah Teknik (1816), Sekolah Kedokteran (1827), Sekolah Apoteker (1829), Sekolah Pertambangan (1834), dan Sekolah Penerjemahan (1836). Para pengajarnya banayak didatangkannya dari Eropa. Selain itu Pasya juga mengirim para pelajar-pelajar Mesir ke Eropa, terutama Paris, dan setalah mereka pulang ditugaskan untuk menterjemahkan buku-buku yang berbahasa Eropa ke dalam Bahsa Arab, disamping juga mengajar.[43]
2. At-Thahtawi
Nama lengkapnya adalah Rifa’ah Badwi Rafi’, lahir pada tahun 1801 M. di Thahtha, dan meniggal di Kairo pada tahun 1873 M. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo dan belajar di  al-Azhar. Karena kepintarannya, ia diutus oleh Muhammad Ali ke Paris guna mendalami bahasa asing dan mempertajam wawasan keagamaan dengan mengkaji teks-teks modern.[44]
            Beliau sangat berjasa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan di Mesir karena menguasai berbagai bahasa asing dan berhasil mendirikan sekolah penerjemahan dan menjadikan bahasa asing tertentu sebagai pelajaran wajib di sekolah.
            Diantara pendapat-pendapat baru yang dikemukakannya ialah ide pendidikan yang bersifat universal. Pendidikan dalam Islam bukan hanya untuk anak laki-laki tetapi juga anak perempuan. Pendapat yang mengatakan, meyekolahkan anak perempuan makruh, ia lawan dengan fakta sejarah bahwa istri Nabi Muhammad Hafshah dan ‘Aisyah pandai membaca dan menulis.[45]
3.Muhammad Abduh
         Muhammad Abduh lahir di Mesir Hilir, tepatnya di desa mana tidak dapat diketahui karena bapak dan ibunya adalah orang desa yang idak mementingkan tempat dan tanggal lahirnya. Tahun 1849 tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.[46]
         Terdapat banyak sumbangsi pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh bagi Islam, misalnya bidang ‘Akidah Tauhid, dan kemajuan bidang Pendidikan.
         Dalam bidang Pendidikan, menurutnya, perluhnya dibuka sekolah-sekolah modern, dimana ilmu pengetahuan modern di ajarkan di samping ilmu pengetahuan agama. Dan ke dalam Al-Azhar perluh dimasukan ilmu-ilmu modern, agar ulama Islam mengerti kebudayaan modern dan dengan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul dalam zaman modern ini.  Dan juga untuk sekolah-sekolah yang telah didirikan di Mesir, seperti sekolah Meliter, Administrasi dan lain-lainnya, perluh dimasukkan didikan agama yang lebih kuat, termasuk ke dalamnya sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam.[47]
                Adapun kurikulum-kurikulum yang disusun oleh Muhammad Abduh, yaitu:
a.       Kurikulum Al-Azhar 
Kurikulum Perguruan Tinggi Al-Azhar disesuaikannya dengankebutuhan masyarakat pada masa itu.Dalam hal ini, beliau memasukkan filsafat, logika dan ilmu peengetahuan modern ke dalamkurikulum Al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat menjadi ulama modern.
Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di Al-Azhar.Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya, dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli modern,dan diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di zaman modern.
Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern sebagai syaratmenguasai IPTEK guna kelansungan pembangunan Islam ke dalam Al-Azhar dan dengan memperkuat pendidikan agama sebagai bekaltuntunan dan perbaikan moralitas ummat, di sekolah-sekolah pemerintah, paling tidak akan bisa melahirkan para ilmuan yang tidak kosong akan ilmu pengetahuah agama, dan juga akan terwujud ulama-ulama yang tidak buta akan ilmu pengetahuan umum, sehingga paralulusan Sekolah Pemerintah muapun al-Azhar tidak lagi parsial dalam memahami ilmu.[48]
b.      Tingkat Sekolah Dasar 
Beliau beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya sudah dimulai semenjak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti semuamata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama(Islam) merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa kepribadian muslim, rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat mengembangkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.
c.       Tingkat Atas
Upaya yang dilakukan Muhammad Abduh adalah dengan mendirikan Sekolah Menengah Pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan dan sebagainya. Melalui lembaga ini, beliau merasa perlu untuk memasukkan beberapa materi, khususnya pendidikan agama. Sejarah Islam dan kebudayaan Islam. Di madrasah yang berada di bawah naungan Al-Azhar, Abduh mengajarkan Ilmu Mantiq, Falsafah danTauhid.
Dalam metode pengajaran ia pun membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu, ia mengkritik dengan tajam penerapan metode hafalan tanpa pengertian yang dipraktekan terutama di sekolah agama.Dari apayng dipraktekannya ketika mengajar di al-azhar terlhat bahw iamenerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam pada muridnya. Dan ia memperingatkan kepada para pendidik untuk tidak menggunakan metod menghafal dalam mengajar karena itu hanya akanmerusak daya nalar anak.[49]


4. Jamaludin Al-Afghani
         Al-Afghani lahir 1835 M, namun terdapat beberapa versi yang menyatakan dimana tepatnya ia dilahirkan. Menurut pengakuannya sendiri ,ia dilahirkan di Asadabad, suatu kota di Konar, wilayah distrik Kabul di Afaghanistan, sedangkan versi lain menyebutkan ia dilahirkan di Asadabad dekat Harnadan Persia (Iran).[50]
         Adapun Ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik Al-Afghani tentang negara dan sistem pemerintahan akan diuraikan berikut ini :
1.      Bentuk negara dan pemerintahan
            Menurut Al-Afghani, Islam menhendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar.[51]Pendapat seperti ini baru dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot. Pendapat ini tampak dipengaruhi  oleh pemikiran barat, sebab barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun  pemahaman Al-Afghani tidak lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Penafsiran atau pendapat ersebut lebih maju dari Abduh yaitu Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan , maka bentuk demikianpun harus mengikuti masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, bahwa apapun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis.
2.      Sistem Demokrasi
            Di dalam pemerintahan yang absulot dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja/kepala gegara  untuk bertindak  yan tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokrasi.[52] Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas dari dari pemerintahan yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana berkembang di barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti pemerintahan khalifah. Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman[53] karena pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktekkan dalam berbagai urusan[54].
3.      Pan Islamisme / Solidaritas Islam
            Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam[55]. Kesatuan benar-benar menjadi tema pokok pada tulisan Al-Afghani. Ia menginginkan agar umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama.
e. Dampak yang Dihasilkan
Muhammad Ali memperkuat kekuatannya dengan memajukan negara dari segala kehidupan. Kepercayaan yang dimilikinya sebagai seorang Sultan Utsman mampu menggerakkan pemerintahan Mesir untuk memodernisasikan kekuatan dan administrasi militer. Muhammad Ali Pasha mengundang para ahli militer barat untuk melatih angkatan bersenjata Mesir dan juga mengirim misi ke luar negeri (Eropa) guna mempelajari ilmu kemiliteran. Pada tahun 1815 M untuk pertama kalinya Mesir mendirikan Sekolah Militer yang sebagian besar instrukturnya didatangkan dari Eropa. Tidak hanya itu, ia juga banyak mengimpor persenjataan buatan Eropa seperti buatan Jerman atau Inggris.
Terinspirasi oleh pelatihan militer bangsa Eropa, Muhammad Ali kemudian melatih bala tentaranya berdasarkan “ Nidzam al-Jadid “ atau bisa disebut dengan peraturan baru. Ia mengatur tentara-tentara Mesir dan mulai memperkuatkannya dengan menjadikan para petani luar daerah untuk mengikuti wajib militer. Upaya itu ternyata cukup berhasil untuk menjadikan kekuatan militer Mesir semakin berkembang.
 Beranjak ke dalam bidang ekonomi, salah satu dampak perkembangan tersebut adalah ekspor kapas ke negara Eropa. Hal itu sangat menguntungkan, karena adanya angsuran terhadap para petugas administrasi yang dijadikan sebagai salah satu titik poin keuntungan bagi Mesir. Selain itu wisatawan asing juga turut menyumbangkan pendapatan bagi devisa negara.
Kemudian, dalam tatanan sosial Muhammad Ali Pasha mengubah pengaturan administrasi bagi penduduk desa dan kota dengan sistem yang lebih modern. Pembangunan prasarana masyarakat umum mulai digalakkan, seperti pembangunan Rumah Sakit, sekaligus mendatangkan beberapa dokter spesialis untuk menangani problematika penduduk setempat.
 Dan berlanjut dalam bidang pendidikan, untuk memperkuat kedudukannya dan sekaligus melaksanakan pembaruan pendidikan di Mesir, Muhammad Ali Pasya, mengadakan pembaruan dengan mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran di Barat.[56] 
Di dalam pemerintahannya, beliau mendirikan kementerian pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan. Membuka Sekolah Teknik (tahun 1839), Sekolah Kedokteran (tahun 1827), Sekolah Apoteker (tahun 1829), Sekolah Pertambangan (tahun 1834), Sekolah Pertanian (tahun 1836), dan Sekolah Penerjemahan (tahun 1836).[57]
Masih dalam konteks melakukan upaya pembaruan dalam bidang pendidikan, Muhammad Ali Pasya juga mengirim siswa-siswa untuk belajar ke Italia, Perancis, Inggris, dan Austria antara tahun 1823-1844, ada sebanyak 311 pelajar yang dikirim oleh Muhammad ali pasya ke Eropa.[58]
Hal ini dilakukan agar mereka yang diutus mampu menguasai ilmu pengetahun Barat, untuk selanjutnya nanti mampu dikembangkan dan direalisasikan di Mesir. Serta dalam rangka mengalihkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang telah berkembang di Barat tersebut, Muhammad Ali Pasya menggalakkan penerjemahan buku-buku yang berbahasa asing ke dalam Bahasa Arab. Sehingga beliau mendirikan Sekolah Penerjemahan pada tahun 1836.
 Gerakan pembaharuan yang dibawanya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan dan eknologi Barat kepada umat Islam, dan sampai pada suatu waktu dapat menyingkap awan hitam yang menyelimuti pola pikir dan sikap keagamaan, yang sekaligus menjadi awal kelahiran para tokoh Muslim seperti Muhammad Abduh, Muhammad Rsyid Ridho, Rifa’ah Badawi, Rafi’ al-Tahtawi, dan Hasan al Bana. Mereka merupakan ulama-ulama yang berpengetahuan luas, berwawasan modern dan tidak berpandangan sempit.[59] Adapun usaha-usaha yang dilakukannya Muhammad Ali Pasya dalam rangka pembaruan pendidikan Islam di Mesir adalah:
a.      Mendirikan kementerian pendidikan dan lembaga -lembaga pendidikan untuk mengurus permasalahan pendidikan,
b.      Mendirikan sekolah-sekolah,
c.       Mengadopsi tata cara dan model pendidikan barat,
d.      Mendatangkan guru dan tenaga ahli dari Barat, terutama Perancis,
e.       Mengirim siswa-siswa ke Barat untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi,
f.       Mengadakan penerjemahan buku-buku.[60]

 
BAB III
Kesimpulan
            Para ilmuan muslim menyatakan bahwa modernisasi (pembaharuan) dalam islam yang dimulai sejak  permulaan periode modern dipelopori oleh Muhammad Ali Pasya, Raja Mesir. Sebagaimana raja lainnya, ia mengerti pentingnya kemajuan militer dan ekonomi bagi negara yang dipimpinnya. Meskipun ia buta huruf, namun ia tahu bahwa kemajuan dalam bidang militer dan ekonomi harus didukung oleh kemajuan dalam bidang pendidikan. Untuk itulah ia melakukan modernisasi dalam bidang pranata sosial dengan membangun sekolah- sekolah moderen pertama di dunia islam. Tampaknya, langkah Modernisasi Muhammad Ali Pasya tersebut diikuti oleh kaum- kaum modernis Mesir sesudahnya, terutama Muhammad Abduh dan murid- muridnya, serta para pengikutnya.
            Berbeda dengan modernisasi yang dilakukan Muhammad Ali Pasya, maka modernisasi yang dilakukan Muhammad Abduh dan murid- muridnya serta kawan- kawannya selain menyentuh bidang pranata sosial juga sudah menyentuh bidang pemikiran islam; pemikiran teologi Islam; pemikiran politik Islam; pemikiran tasawwuf. Modernisasi dalam Islam hanya boleh dilaksanakan pada wilayah ajaran Islam yang bukan dasar dan bukan pada wilayah ajaran dasar.
            Selanjutnya modernisasi yang dilakukan Muhammad Abduh dari Mesir pada akhir abad ke- 20 ternyata mempunya pengaruh besar terhadap dunia Islam lainnya termasuk Indonesia. Pengaruh tokoh modernis dari Mesir itu di Indonesia antara lain Abdullah Ahmad dengan sekolah Adabiyahnya.
            Perlu diketahui di sini, bahwa karena usaha modernisasi yang dilakukan tokoh- tokoh modernis itu merupakan perubahan, maka konsekwensinya menimbulkan sikap pro kontra dalam masyarakat, dan sikap pro kontra ini hanyalah bersifat psikologis tanpa subtansiasi kongkret. Dengan demikian masyarakat yang tadinya menolak upaya- upaya modernisasi tersebut pada akhirnya cepat atau lambat ternyata mereka dapat menerimanya.

 
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Abaza, Islamic education Perceptions and Exchanges Indonesian Students in Cairo, 1994.
Ali Mukti, Paradigma Pendidikan Islam, dalam teori dan praktik sejak periode klasik hingga moderen, Penerbit Perdana Publishing, Medan, 2016.
Hassan, Affan, et.al., Pendidikan Islam di Indonesia dan Mesir: Titik Berat pada SMP-SMA. Cairo: KBRI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, 1983.
Ali, Said Ismail, Ma’ahid al-Ta’lim al-Islam, Cairo: Dar alTsaqofah.
Szyhowiez, Joseph.S, Education and Modernization in the Middle East, New York: Cornell University Press, 1973.
Dunne, J. Heyworth, An Introduction to the History of Education in Modern Egypt, London: Frank Class & Co. Ltd, 1968.
Jurnal Hunafa, Pendidikan Islam dan Modernitas di Timur Tengah: Studi Kasis Mesir, Vol. 4, No. 2, Juni 2007.
Mahrouse, “Egypt, System of Education”, pada The International Encyclopedia of Education, Vol. 4 Tosten Husen (ed.). Oxford: El Sevier Science Ltd, h.1942.
Dodge, Bayard, AL-Azhar, a Millenium of Islam Learning, Washington DC. : The Middle East Institute.
Abaza, Islamic education Perceptions and Exchanges Indonesian Students in Cairo, Abaza, 1994.
Rahman, Fazlur, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual, terj. Ahsin Muhammad. Cet. II. Bandung:Pustaka, 1995.
Crecilius, Daniel, “Al-Azhar in Revolution” dalam Journal the Middle East Institute, Washington DC: William Sand, 1966..
AL-Bahiy, Muhammad, al-Fikr al-Islamiy wa al-Mujtama’ al Mu’ashir. Cairo, Maktabah Wahbah, 1982.
Marjoko, Thoha Husein, Pendidikan Islam dan Kebangkitan Intelektual Mesir, tesis, Yogyakarta: PPS IAIN Sunan Kalijaga, 1994.
Husein, Thoha, Ilmu Tarbiyah Yahtawiy ‘ala Mustaqbal alTsaqafah, Beirut: Dar al-Kutub al-Labnaniy, 1973.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,1982.
Abdul Mukti, Paradigma Pendidikan Islam, dalam teori dan praktik sejak periode klasik hingga moderen, Penerbit Perdana Publishing, Medan; 2016.
Nourozzaman Shiddiqi,  Jeram- jeram Peradaban Muslim, Cet .I, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, Cet. I, Yokyakarta: Pustaka pelajar, 1997.
Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid II. Bulan Bintang, Jakarta;1975.
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran,Penerbit Mizan,Jakarta;1989.h.148-149.
Suwito, Sejarah Sosial Pendid ikan  Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan  Islam, Menelusuri Jejak  Sejarah Era Rasulullah, Jakarta: Kencana, 2007.
Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, Pustaka Setia, Bandung; 2010.
J.Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : Grafindo Persada, 1994.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975, cet. ke-1.
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2004.






[1]Hassan, Affan, et.al., Pendidikan Islam di Indonesia dan Mesir: Titik Berat pada SMP-SMA. Cairo: KBRI Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, 1983: 31.
[2]Ali, Said Ismail, Ma’ahid al-Ta’lim al-Islam, Cairo: Dar alTsaqofah,h.78-79.
[3] Hassan, Affan, et.al., Pendidikan Islam.., h.3.
[4]Ali, Said Ismail, Ma’ahid.., h. 128.
[5]Hassan, Affan, Pendidikan Islam.., h. 33.
[6]Ali, Said Ismail, Ma’ahid..,h. 130-133)
[7]Hasan, Affan, Pendidikan Islam..,h. 41
[8]Szyhowiez, Joseph.S, Education and Modernization in the Middle East, New York: Cornell University Press, 1973, h.102.
[9]Dunne, J. Heyworth, An Introduction to the History of Education in Modern Egypt, London: Frank Class & Co. Ltd, 1968, h.3.
[10]Jurnal Hunafa, Pendidikan Islam dan Modernitas di Timur Tengah: Studi Kasis Mesir, Vol. 4, No. 2, Juni 2007, h.129-142
[11]Ibid
[12]Hasan, Affan Pendidikan Islam..,h. 49.
[13]Ibid, h. 50.
[14]Ibid
[15]Szyhowiez, Joseph.S, Education and Modernization.., h.253.
[16]Ibid
[17]Mahrouse, “Egypt, System of Education”, pada The International Encyclopedia of Education, Vol. 4 Tosten Husen (ed.). Oxford: El Sevier Science Ltd, h.1942.
[18]Hasan, Pendidikan Islam..,h. 51.
[19]Dodge, Bayard, AL-Azhar, a Millenium of Islam Learning, Washington DC. : The Middle East Institute, h.157.
[20]Abaza, Islamic education Perceptions and Exchanges Indonesian Students in Cairo, (Abaza, 1994, h.34-48.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Rahman, Fazlur, Islam & Modernity: Transformation of an Intellectual, terj. Ahsin Muhammad. Cet. II. Bandung:Pustaka, 1995, h. 118.
[24]Crecilius, Daniel, “Al-Azhar in Revolution” dalam Journal the Middle East Institute, Washington DC: William Sand, 1966, h. 37.
[25]Jurnal Hunafa Vol. 4, No. 2, Juni 2007, h. 129-142
[26]AL-Bahiy, Muhammad, al-Fikr al-Islamiy wa al-Mujtama’ al Mu’ashir. Cairo, Maktabah Wahbah, 1982, h. 411.
[27]Marjoko, Thoha Husein, Pendidikan Islam dan Kebangkitan Intelektual Mesir, tesis, Yogyakarta: PPS IAIN Sunan Kalijaga, 1994, h. 80.
[28]Husein, Thoha, Ilmu Tarbiyah Yahtawiy ‘ala Mustaqbal alTsaqafah, Beirut: Dar al-Kutub al-Labnaniy, 1973, h. 252.
[29]Muhammad Ihsan, Pendidikan Islam…139
[30]Rahman, Fazlur, Islam & Modernity: Transformation ..., h.121.
[31]Ibid.
[32]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang,1982, h.48.
[33]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam..,h.79.
[34]Jurnal Hunafa Vol. 4, No. 2, Juni 2007, h. 129-142.
[35] Abdul Mukti, Paradigma Pendidikan Islam, dalam teori dan praktik sejak periode klasik hingga moderen, Penerbit Perdana Publishing, Medan; 2016,h.217
[36]Abdul Mukti, Paradigma Pendidikan Islam,,h. 142.
[37]Ibid, 142.
[38]Nourozzaman Shiddiqi,  Jeram- jeram Peradaban Muslim, Cet .I, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, h. 199.
[39]Uraian lengkap tentang modernisasi (pembaharuan) pemikiran Hukum Islam baca dalam Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, Cet. I, (Yokyakarta: Pustaka pelajar, 1997).
[40]Ibid, Paradigma Pendidikan Islam..., h.145.
[41]Ibid,...145.
[42]Hamka, Sejarah Umat Islam, jilid II. Bulan Bintang, Jakarta;1975, h.189-190
[43]Harun Nasution, Islam Rasional (Gagasan dan Pemikiran,Penerbit Mizan,Jakarta;1989.h.148-149.
[44]Ibid
[45]Ibid, Islam Rasional..,h.149.
[46]Ibid, Pembaharuan dalam Islam.., h.58.
[47]Ibid, h.67.
[48]Suwito, Sejarah Sosial Pendid ikan  Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 165.
[49]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan  Islam, Menelusuri Jejak  Sejarah Era Rasulullah, (Jakarta: Kencana, 2007), h.250.
[50]Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, Pustaka Setia, Bandung; 2010, h. 244.
[51]J.Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : Grafindo Persada, 1994, h.281.
[52]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1975, cet. ke-1, h.56.
[53]Ibid.
[54] J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran h.285.
[55] Ibid. h. 294
[56]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2004, h. 120.
[57]Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta, Prenada Media, 2005. h. 165.
[58]Ibid.
[59]Ibid.
[60]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar